Awali Hidup Ini Dengan Membaca Basmallah
Semoga Amal Ibadah Kita Diterima Allah S.W.T .....Amien...

link

Jumat, 04 Januari 2013

Hakikat Syukur

Hakikat Syukur 


Sepanjang hari, nikmat dan anugerah Allah kita peroleh. Tidak usah jauh-jauh, marilah kita lihat diri kita sendiri secara fisik. Kita diberi indera yang lengkap --penglihatan, pendengaran, penciuman, pernapasan, dan seterusnya-- yang memungkinkan kita mengecap segala bentuk nikmat duniawi yang enak-enak dan indah. Atau lihatlah sekeliling kita, sinar mentari yang hangat, air dan udara yang segar, pepohonan tempat berteduh, semua disediakan oleh Allah untuk kita, tanpa kita membayar. 

Itulah sebab Rasulullah SAW menganjurkan agar kita beribadah sebanyak mungkin, sebagai ungkapan syukur kita kepada-Nya, atas pelbagai nikmat pemberian-Nya. Allah adalah Zat Mahasegalanya, jadi Dia tidak membutuhkan apa pun dari kita. Allah pun tidak membutuhkan ibadah kita, karena bagi Dia tidak jadi soal apakah seluruh semesta menyembah-Nya atau malah ingkar pada-Nya. 

Ibadah kita kepada-Nya semata-mata berpangkal dari kesadaran kita sendiri, yakni kesadaran tentang keharusan untuk bersyukur kepada-Nya karena telah memberi kita begitu banyak nikmat. Rasulullah pernah ditanya sahabatnya, mengapa beliau shalat sunat di malam hari (qiyamullail) sampai kakinya bengkak-bengkak. Bukankah beliau sudah diampuni segala dosanya yang akan datang, bukankah beliau sudah dijamin masuk surga? Jadi, buat apa beliau susah-susah memperbanyak ibadah? Beliau menjawab, ''Tidak bolehkah aku bersyukur?'' Jawaban beliau ini untuk menjelaskan bahwa tujuan ibadah bukan semata-mata untuk mengharap surga-Nya, atau agar terhindar dari neraka-Nya. Namun, lebih dari itu, ibadah adalah ekspresi rasa syukur kita kepada Allah atas semua nikmat pemberian-Nya. 

Allah SWT sendiri tidak suka kepada manusia-manusia yang enggan bersyukur. Dalam sebuah hadis qudsi, Dia berkata, ''Siapa yang tidak mau bersyukur atas nikmat pemberian-Ku, dan tidak mau bersabar atas cobaan-Ku, maka silakan saja ia keluar dari kolong langit-Ku dan silakan ia cari tuhan selain Aku!'' 

Dalam tataran paling mendasar, rasa syukur bisa diwujudkan dengan cara menjaga nikmat Allah agar tidak digunakan di jalan maksiat. Kita biasa mengucap hamdalah atau mungkin memperbanyak ibadah mahdhah dan ibadah-ibadah sunat lainnya, sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada-Nya karena telah memberi kita nikmat yang tak terkira. Akan tetapi, Alhamdalah kita, amal-amal mahdhah, dan amalan sunat kita yang lain, itu semua tidak akan ada artinya sama sekali jika, di sisi lain dan bersamaan dengan itu, kita masih saja melakukan maksiat kepada Allah dengan menggunakan fasilitas nikmat pemberian-Nya. 

Misalnya saja kita sering shalat dan puasa sunat, katakanlah itu kita lakukan sebagai ungkapan syukur, tetapi kita juga tidak bisa meninggalkan ucapan jorok, menggunjing saudara, dan sebagainya, ya apa gunanya. Karena itu, tentu saja, yang paling baik adalah bila kita rajin shalat dan puasa dan pada waktu bersamaan kita bisa menjaga mulut dan perilaku dari hal-hal yang tidak baik. Itulah antara lain hakikat dari rasa syukur. Wallahu a'lam. 


Hakikat Shalat


Hakikat Shalat 


Pada bulan Rajab ini, umat Islam memperingati peristiwa Isra dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Salah satu hikmah Isra Mi'raj yang terpenting adalah kewajiban shalat bagi setiap Muslim lima kali sehari semalam. Shalat merupakan ibadah yang paling fundamental dalam Islam. Ia bukan sekadar kewajiban bagi setiap Muslim, tetapi (seharusnya) merupakan kebutuhan manusia secara spiritualitas. 

Shalat berasal dari kata shalla-yushalli-shalat-shilat, yang berarti hubungan. Dalam konteks sufisme, shalat berarti adanya keterjalinan atau hubungan vertikal antara makhluk dan Khalik, antara hamba dan Tuhannya. Shalat merupakan wahana untuk mendekatkan diri pada Tuhan, ber-taqarrub kepada Allah SWT, penguasa jagat raya ini. Oleh karena itu, seorang Mukmin yang benar-benar shalat, jiwanya tenang dan pikirannya lapang. 

Pernah suatu kali Imam Hasan bin Ali ditanya orang, ''Mengapa orang yang melaksanakan shalat itu wajahnya berseri dan jiwanya tenteram?'' Imam Hasan bin Ali menjelaskan, ''Karena mereka berdialog (munajat) pada Tuhannya.''

Shalat juga merupakan identitas bagi seorang Muslim. Nabi SAW bersabda, ''Perbedaan antara kami dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkannya, maka ia sudah kufur nikmat.'' (HR Baihaqi). Dalam hadis lain dikatakan, ''Shalat itu tiang agama. Siapa yang mendirikan shalat berarti mendirikan agama dan siapa yang meninggalkannya berarti ikut meruntuhkan agama.'' (HR Turmudzi). 

Begitu pentingnya kewajiban shalat bagi seorang Muslim, sehingga tidak ada alasan apa pun yang dibenarkan untuk meninggalkan shalat, hingga ia sendiri malah dishalatkan. Pengecualian khusus hanya berlaku untuk wanita Muslimah yang sedang menstruasi. Dalam menunaikan shalat, setiap Muslim dianjurkan untuk berjamaah. Ini mengandung makna tentang pentingnya persatuan dan persaudaraan di kalangan umat Islam. Persaudaraan yang didasarkan oleh ikatan religius, ukhuwah Islamiyah, untuk menebarkan kebenaran dan kemaslahatan bagi umat manusia. Rasa persamaan juga dipupuk dalam shalat berjamaah. 

Shalat berjamaah mengandung asas equality before law, persamaan di hadapan hukum. Siapa yang datang ke masjid lebih awal berhak menempati shaf pertama, tanpa memandang jabatan dan posisi seseorang. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi sebenarnya sudah ditanamkan pula di masjid melalui ibadah shalat yang dilakukan secara berjamaah. 

Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (Al-Ankabut: 45). Seorang Muslim yang benar-benar shalat jiwanya tenang dan hati pun tenteram. Karena, orang yang shalat selalu merasa dalam pengawasan Allah. Oleh karena itu, perbuatan keji dan munkar seperti praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme), penipuan, penggelapan, dan manipulasi, mestinya dapat dicegah dalam masyarakat yang shalatnya baik. Ini semua bisa terjadi karena masyarakat akan selalu merasa berada dalam kontrol dan pengawasan Ilahi. Wallahu a'lam. (Efrinaldi) 


Kamis, 03 Januari 2013

Hakikat Muhasabah


Hakikat Muhasabah 


Alkisah, hidup seorang tabiin saleh bernama Atha As-Salami. Suatu hari Atha bermaksud menjual kain yang telah ditenunnya. Setelah diamati dan diteliti secara seksama oleh sang penjual kain, sang penjual kain mengatakan, ''Ya, Atha sesungguhnya kain yang kau tenun ini cukup bagus, tetapi sayang ada cacatnya sehingga saya tidak dapat membelinya.'' 

Begitu mendengar bahwa kain yang telah ditenunnya ada cacat, Atha termenung lalu menangis. Melihat Atha menangis, sang penjual kain berkata, ''Ya, Atha sahabatku, aku mengatakan dengan sebenarnya bahwa memang kainmu ada cacatnya sehingga aku tidak dapat membelinya, kalaulah karena sebab itu engkau menangis, maka biarkanlah aku tetap membeli kainmu itu dan membayarnya dengan harga yang pas.'' 

Tawaran itu dijawabnya, ''Wahai sahabatku, engkau menyangka aku menangis disebabkan karena kainku ada cacatnya, ketahuilah, sesungguhnya, yang menyebabkan aku menangis bukan karena kain itu. Aku menangis disebabkan karena aku menyangka bahwa kain yang telah kubuat selama berbulan-bulan ini tidak ada cacatnya, tetapi di mata engkau sebagai ahlinya ternyata ada cacatnya. 

Begitulah aku menangis kepada Allah dikarenakan aku menyangka bahwa ibadah yang telah aku lakukan selama bertahun-tahun ini tidak ada cacatnya, tetapi mungkin di mata Allah sebagai ahli-Nya ada cacatnya, itulah yang menyebabkan aku menangis.'' 

Ada dua hikmah yang dapat kita ambil dari kisah tersebut di atas. Pertama, kita harus sering melakukan muhasabah terhadap segala amal kebaikan yang telah kita lakukan. Dr Abdullah Nashih Ulwan dalam kitabnya yang berjudul Ruhaniyatud-Da'iah menjelaskan hakikat muhasabah sebagai berikut: Hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalannya untuk mendapatkan ridla Allah, atau apakah amalannya disusupi sifat ria? 

Kedua, jangan bersandar kepada amal yang telah kita lakukan untuk dapat masuk ke surga Allah SWT. Kita harus bersandar kepada ampunan dan rahmat- Nya. Sebagaimana hadis yang disampaikan Rasulullah SAW, ''Berusahalah setepat dan sedekat mungkin, ketahuilah bahwa amal salah seorang dari kamu tidak dapat memasukkannya ke surga.'' Sahabat bertanya, ''Tidak juga engkau Wahai Rasulullah?'' Rasulullah menjawab, ''Tidak juga Aku, melainkan Allah mencurahkan kepadaku ampunan dan rahmat-Nya.'' (Muttafaqa A'laihi). Syekh Ibnu Ataillah As-Sakandari di dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan ''Andai bukan karena keindahan tutupan Allah, niscaya tidak suatu amal pun yang dapat diterima.'' 

Semoga hati kita dibersihkan dari nifaq, ria, dusta, dan khianat

kisah Isra' dan Mi'raj


Godaan Dunia 


Dalam kisah Isra' dan Mi'raj, dunia secara simbolik digambarkan seperti wanita lanjut usia (lansia). Tapi, meski sudah lansia, ia tetap ingin tampil lebih menarik. Ia tidak lupa mempercantik diri dengan dandanan dan aksesori yang beraneka ragam. Itulah dunia yang, karena kecantikannya, sangat digemari manusia meski usianya sudah sangat tua. 

Manusia memang memiliki kecenderungan yang sangat kuat kepada dunia dan kemewahannya. Allah SWT berfirman, ''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga).'' (Ali 'Imran: 14). 

Perkataan dunia dalam ayat di atas, menurut Imam Ghazali, dapat dipahami secara fisik dan nonfisik. 

Secara fisik dunia menunjuk kepada seluruh benda-benda yang ada di alam ini, sedangkan secara nonfisik (rohani), dunia menunjuk kepada sikap dan perbuatan (A'mal al-qulub) terhadap dunia itu sendiri seperti sifat loba, serakah, sombong, dan membanggakan diri. Bagi Ghazali, semua sifat-sifat ini disebut dunia dalam arti bathini atau rohani. 

Sebagai tokoh sufi, Ghazali banyak memberikan nasihat dan taushiyah dalam soal dunia ini. Intinya, ia mengingatkan agar manusia tidak tergoda dan teperdaya oleh daya tarik dunia. Pesannya, ''Wahai sekalian manusia, jangan sekali-kali kalian condong pada dunia, karena ia suka menipu dan memperdaya. Tipu dayanya terkadang membuat kamu jatuh hati. Ia terus bersolek di hadapan para penggemarnya, sehingga ia tak ubahnya seorang pengantin wanita yang sangat cantik jelita. Semua pandangan tertuju padanya. Semua orang terpikat dan merindukannya. Namun, jangan kalian lupa, betapa banyak orang yang merindukannya justru dibunuhnya, dan orang yang sepenuh hati mencintainya justru dikhianatinya.'' 

Agar tidak tertipu, menurut Ghazali, setiap Muslim perlu mengetahui hakikat dunia, termasuk mengetahui mana yang buruk, mana yang harus dijauhi, dan mana yang boleh diambil. Dalam kaitan ini, dunia terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, bagian dunia yang bernilai abadi dalam arti berguna dan bermanfaat bagi manusia di akhirat, yaitu ilmu dan amal. 

Kedua, bagian dunia yang merupakan kesenangan sesaat dan tidak ada nilainya sama sekali di akhirat kelak, seperti bersenang-senang dan berfoya-foya dengan kenikmatan dunia. 

Ketiga, bagian dunia yang mendukung kebaikan akhirat. Bagian ini tidak sama dengan bagian pertama, tapi merupakan pendukung dan sarana bagi terwujudnya bagian pertama. 

Dari bagian ini, yang diburu oleh banyak manusia justru bagian kedua, yaitu bagian yang pada akhirnya akan membuat manusia menderita. Hal ini, karena bagian tersebut hanya akan mendatangkan dua hal saja, yaitu hisab (audit dan pertanggungjawaban kekayaan) dan azab atau siksa. Kata Nabi, ''Harta itu halalnya hisab sedangkan haramnya merupakan azab.'' Jadi, kalau begitu, kita harus pilih bagian pertama dan ketiga, supaya kita selamat dari godaan dunia. 

Di Ambang Ramadhan


Di Ambang Ramadhan 


Bulan Ramadhan segera menjelang. Rahmat dan ampunan Allah SWT pun akan datang, lengkap dengan pahala-Nya yang menjulang. Di saat seperti ini, Rasulullah SAW telah memberi sunnah. 

Pertama, memperbanyak puasa sunat di bulan Sya'ban (HR Bukhari). Secara eksplisit, Rasul mengajak membiasakan puasa sunat sebagai latihan menghadapi medan pertempuran melawan hawa nafsu yang sesungguhnya: puasa fardhu. 

Secara implisit, disunnahkan fisik dan kejiwaan kita dikondisikan. Kesehatan dijaga. Hati ditautkan. Pelan-pelan kerinduan kepada bulan suci dibangkitkan hingga ketika malam pertama Ramadhan menghampiri, kerinduan itu langsung diwujudkan dengan menegakkan perintah dan anjuran-Nya saat Ramadhan, persis pelampiasan kerinduan seseorang kepada kekasihnya yang setahun tak bersua. 

Kedua, bergembira secara terbuka dan menyebarkannya kepada kaum Muslimin. Rasul menunjukkan keriangannya dan berkali-kali memompa perasaan yang sama kepada para sahabat dengan menyampaikan warta gembira, seperti dibukakannya pintu surga, pintu neraka ditutup, dan dibelenggunya para setan (HR Ahmad dan Nasaai). 

Juga adanya suatu malam yang bila beramal saat itu akan diganjar lebih baik daripada amal selama seribu bulan (QS Al Qadr). Allah pun berjanji mengampuni dosa-dosa kita di masa lalu jika benar-benar berpuasa dan menegakkan malam-malam Ramadhan (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasaai dan Ibnu Majah). Tentu saja, kecuali dosa syirik, dosa-dosa besar yang memerlukan tobat khusus seperti zina, serta dosa-dosa penganiayaan manusia lain yang membutuhkan pemaafan korban lebih dulu, seperti pembunuhan (penzaliman fisik), atau korupsi dan kejahatan perdagangan (penzaliman harta). 

Bergembiralah setiap hari karena Rasul SAW bersabda bahwa seseorang yang berpuasa bergembira dua kali, yakni saat berbuka dan bertemu Allah (HR Muslim). Karenanya, tiada tempat rasa sedih dan gelisah. Juga bayangan akan kelaparan, atau kesulitan berdagang makanan/minuman di siang hari, serta godaan tidak mampu bekerja jika berpuasa. Hanya orang kafir dan munafik yang bermuram durja setiap Ramadhan menyapa. 

Ketiga, di akhir bulan Sya'ban Rasul SAW mengumpulkan orang-orang serta berpidato tentang keutamaan Ramadhan dan dorongan memperbanyak amal (HR Ibnu Khuzaimah). Termasuk penghidupan sunnah Nabi jika ada acara khusus berupa khutbah, seminar, atau diskusi apa pun untuk memperkuat semangat ibadah kaum Muslimin yang dilakukan para pejabat pemerintah dan swasta, juga para kepala keluarga. 

Semoga Ramadhan menjadi titik tolak perubahan pemikiran, perasaan, dan tindakan manusia hingga tiada lagi kaum Muslimin yang menderita. (Fahmi AP Pane)