Awali Hidup Ini Dengan Membaca Basmallah
Semoga Amal Ibadah Kita Diterima Allah S.W.T .....Amien...

link

Jumat, 26 Oktober 2018

Apakah hukum membaca al-Fatihah bagi Ma’mum?



Jawaban:

Mazhab Hanafi: Ma’mun tidak perlu membaca al-Fatihah, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
Pertama, ayat al-Qur’an: “Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (Qs. al-A’raf *7+: 204).

Imam Ahmad bekrata: “Umat telah sepakat bahwa ayat ini tentang shalat”. Perintah agar mendengarkan bacaan al Fatihah yang dibacakan, khususnya pada shalat Jahr. Diam mencakup shalat Sirr dan Jahr, maka orang yang shalat wajib mendengarkan bacaan imam yang dibaca jahr dan diam pada bacaan Sirr. Hadits hadits mewajibkan bacaan, maka makna ayat ini mengandung makna wajib, menentang yang wajib berarti haram.

Kedua, dalil Sunnah. Dalam hadits disebutkan: ةءاق ول ـاملإا ةءا ق فف ،ـامإ فلخىلص نم “Siapa yang shalat di belakang imam, maka bacaan imam sudah menjadi bacaan baginya”. (HR. Abu Hanifah dari Jabir). Ini mencakup shalat Sirr dan Jahr.

Hadits lain: اوتصف أ ق اذإو ،اوبركف بر اذف ،وب تم يل ـاملإا لعجا إ “Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti, apabila imam bertakbir maka bertakbirlah kamu. Apabila imam membaca maka diamlah kamu”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah).

Hadits lain: Rasulullah Saw melaksanakan shalat Zhuhur, ada seorang laki-laki di belakang membaca ayat: “Sabbihisma rabbika al-a’la”. Ketika selesai shalat, Rasulullah Saw bertanya: “Siapakah diantara kamu yang membaca ayat?”. Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Rasulullah Saw berkata: “Menurutku salah seorang kamu telah melawanku dalam membaca ayat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Imran bin Hushain).

Ini menunjukkan pengingkaran terhadap bacaan ma’mum dalam shalat Sirr, maka dalam shalat Jahr lebih diingkari lagi.

Ketiga, dalil dari Qiyas. Jika membaca al-Fatihah itu wajib bagi ma’mum, mengapa digugurkan kewajibannya bagi orang yang masbuq seperti rukun-rukun yang lain. Maka bacaan ma’mum diqiyaskan kepada bacaan masbuq dalam hal gugur kewajibannya, dengan demikian maka bacaan al-Fatihah tidak disyariatkan bagi ma’mum.

Jumhur Ulama: Rukun bacaan dalam shalat adalah bacaan al-Fatihah. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah".

Hadits lain: “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Fatihah al-Kitab (al-Fatihah)". (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban). Juga berdasarkan perbuatan Rasulullah Saw sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dan hadits yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat".

Adapun membaca surat setelah al-Fatihah pada rakaat pertama dan rakaat kedua dalam semua shalat adalah sunnat. Ma'mum membaca al-Fatihah dan surat pada shalat Sirr saja, tidak membaca apa pun pada shalat Jahr, demikian menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali.

Membaca al-Fatihah dalam shalat Jahr saja menurut Mazhab Syafi'i. Dapat difahami dari pendapat Imam Ahmad bahwa beliau menganggap baik membaca sebagian al Fatihah ketika imam diam pada diam yang pertama, kemudian melanjutkan bacaan al-Fatihah pada diam yang kedua. Antara kedua diam tersebut ma'mum mendengar bacaan imam.

Mazhab Syafi'i: Imam, Ma'mum dan orang yang shalat sendirian wajib membaca al-Fatihah dalam setiap rakaat, apakah dari hafalannya, atau melihat mushaf atau dibacakan untuknya atau dengan cara lainnya. Apakah pada shalat Sirr ataupun shalat Jahr, shalat Fardhu ataupun shalat Sunnat, berdasarkan dalil dalil diatas dan hadits 'Ubadah bin ash-Shamit, : Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “Rasulullah Saw melaksanakan shalat Shubuh, Rasulullah Saw merasa berat melafazkan ayat. Ketika selesai shalat, Rasulullah Saw berkata: “Aku melihat kamu membaca di belakang imam kamu". Kami menjawab: “Ya wahai Rasulullah". Rasulullah Saw berkata: “Janganlah kamu melakukan itu, kecuali membaca al-Fatihah, karena sesungguhnya tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah". (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Hibban).

Ini nash (teks) yang jelas mengkhususkan bacaan bagi ma’mum, menunjukkan bahwa bacaan tersebut wajib. Makna nafyi (meniadakan) menunjukkan makna tidak sah, seperti menafikan zat pada sesuatu. Menurut Qaul Jadid: jika seseorang meninggalkan bacaan al-Fatihah karena terlupa, maka tidak sah. Karena rukun shalat tidak dapat gugur disebabkan lupa, seperti ruku’ dan sujud.

Tidak gugur bagi orang yang shalat, kecuali bagi masbuq dalam satu rakaat, maka imam menanggungnya. Sama hukumnya seperti masbuq, orang yang berada dalam keramaian, atau terlupa bahwa ia sedang shalat, atau terlambat dalam gerakan; ma’mum belum juga bangun dari sujud sementara imam sudah ruku’ atau hampir ruku’. Atau ma’mum ragu membaca al-Fatihah setelah imamnya ruku’, lalu ia terlambat membaca al-Fatihah17.

Kamis, 25 Oktober 2018

Ketika akan membaca al-Fatihah dan Surah, apakah dianjurkan membaca Ta'awwudz (A'udzubillah)?

Mazhab Maliki:
Makruh hukumnya membaca Ta'awwudz dan Basmalah sebelum al-Fatihah dan Surah berdasarkan hadits Anas: “Sesungguhnya Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar mengawali shalat mereka dengan membaca alhamdulillahi rabbil'alamin".

Mazhab Hanafi:
Mengucapkan Ta'awwudz pada rakaat pertama saja.

Mazhab Syafi'i dan Hanbali:
Dianjurkan membaca Ta'awwudz secara sirr pada awal setiap rakaat sebelum membaca al-Fatihah,

Jumat, 19 Oktober 2018

Bagaimanakah letak tangan dan jari jemari?

Jawaban:
Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sahl bin Sa'ad:  “Manusia diperintahkan agar laki-laki meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri ketika shalat". (HR. al Bukhari).

Adapun posisi jari-jemari, berikut pendapat beberapa mazhab:

Mazhab Hanbali dan Syafi'i:
Meletakkan tangan kanan di atas lengan tangan kiri atau mendekatinya.

Mazhab Hanafi: Meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri, bagi laki-laki melingkarkan jari kelingking dan jempol pada pergelangan tangan. Sedangkan bagi perempuan cukup meletakkan kedua tangan tersebut di atas dada (telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri) tanpa melingkarkan (jari kelingking dan jempol), karena cara ini lebih menutupi bagi perempuan.

Mazhab Hanafi dan Hanbali: Meletakkan tangan di bawah pusar, berdasarkan hadits dari Ali, ia berkata: “Berdasarkan Sunnah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, di bawah pusar". (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Mazhab Syafi'i:
Dianjurkan memposisikan kedua tangan tersebut di bawah dada di atas pusar, miring ke kiri, karena hati berada pada posisi tersebut, maka kedua tangan berada pada anggota tubuh yang paling mulia, mengamalkan hadits Wa'il bin Hujr: “Saya melihat Rasulullah Saw shalat, ia meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, salah satu tangannya di atas yang lain". Didukung hadits lain riwayat Ibnu Khuzaimah tentang meletakkan kedua tangan menurut cara ini.

Mazhab Maliki:
Dianjurkan melepaskan tangan (tidak bersedekap) dalam shalat, dengan lentur, bukan dengan kuat, tidak pula mendorong orang yang berada di depan karena akan menghilangkan khusyu'. Boleh bersedekap dengan memposisikan tangan di atas dada pada shalat Sunnat, karena boleh bersandar tanpa darurat. Makruh bersedekap pada shalat wajib, karena orang yang bersedekap itu seperti seolah-olah ia bersandar, jika seseorang melakukannya bukan untuk bersandar akan tetapi karena ingin mengikuti sunnah, maka tidak makruh. Demikian juga jika ia melakukannya tidak dengan niat apa-apa.

Pendapat yang Rajih (kuat) dan terpilih bagi saya (Syekh Wahbah az-Zuhaili) adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama: meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, inilah yang disepakati. Adapun hakikat Mazhab Maliki yang ditetapkan itu adalah untuk memerangi perbuatan orang yang tidak mengikuti sunnah yaitu perbuatan mereka yang bersedekap untuk tujuan bersandar, atau untuk memerangi keyakinan yang rusak yaitu prasangka orang awam bahwa bersedekap itu hukumnya wajib

Berapa posisi mengangkat kedua tangan dalam shalat?

Jawaban:

Mengangkat kedua tangan pada empat posisi:
1. Ketika Takbiratul Ihram.
2. Ketika akan ruku'.
3. Ketika bangun dari ruku'.
4. Ketika bangun dari Tasyahud Awal.

Berdasarkan hadits:

Dari Nafi', sesungguhnya apabila Ibnu Umar memulai shalat, ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Ketika ruku' ia mengangkat kedua tangannya. Ketika ia mengucapkan (34:- : : 3: ) ‘Allah mendengar siapa yang memuji-Nya', ia mengangkat kedua tangannya. Ketika bangun dari dua rakaat (Tasyahhud Awal), ia mengangkat kedua tangannya”. (HR. al-Bukhari).