Awali Hidup Ini Dengan Membaca Basmallah
Semoga Amal Ibadah Kita Diterima Allah S.W.T .....Amien...

link

Jumat, 15 Juni 2012

Bila Anda Berakal, Ingatlah Allah


Beberapa tahun lalu, seorang penyanyi pernah menembangkan lagu yang di antara syairnya berbunyi demikian:

aku mau tidur ingat kamu
aku mau makan ingat kamu
aku mau mandi ingat kamu,
dst.

Lagu itu memang berbicara tentang cinta dua anak manusia. Tapi, apa tidak terlalu berlebihan bila di setiap waktu ia selalu mengingat kekasihnya. Padahal kekasihnya itu belum tentu jadi suaminya. Meski itu hanya sekadar lagu, tapi setidaknya itulah cerminan gaya anak muda saat ini.

Lantas, bagaimana ungkapan cinta kita kepada Allah? Bukankah kecintaan kita kepada Allah Swt. mesti ditempatkan di atas segala-galanya? Sementara, kecintaan kita kepada manusia harus dalam rangka kecintaan kita kepada Allah.

Mengingat Allah (dzikrullah) adalah salah satu aspek kecintaan seorang hamba kepada Kholiq-nya. Bahkan salah satu sifat orang-orang yang berakal (ulul albab) adalah selalu mengingat Allah (QS Ali Imran: 190-191).

Dan kalau kita mau diingat Allah, maka kita pun selalu harus mengingat-Nya. "Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian" (QS Al-Baqarah: 152).

Menurut Rasulullah Saw., salah satu ciri orang hidup itu dzikrullah mengingat Allah). Beliau bersabda, "Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dibandingkan dengan yang tidak berdzikir adalah bagaikan orang yang hidup dengan orang yang mati" (HR Bukhari).

Yang dimaksud dengan dzikir adalah merasakan keagungan Allah dalam semua kondisi. Dzikir tersebut bisa berupa dzikir pikiran, hati, lisan, dan perbuatan. Yang dimaksud dengan dzikir perbuatan mencakup tilawah Al-Qur`an, ibadah, dan keilmuan. Makna dzikir inilah yang paling banyak dijelaskan oleh Al-Qur`an dan hadits Rasulullah Saw.

Tentang dzikir dengan pikiran, Allah Swt. berfirman: "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak juga oleh jual-beli dari mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat, dan dari membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari dimana hati dan penglihatan menjadi guncang" (QS An-Nur: 37). Jadi merasakan keagungan Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya harus terus berlangsung, sekalipun dalam kegiatan berdagang atau bisnis.

Dzikir dengan hati, Allah Swt. berfirman: "Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah ahti menjadi tenteram" (QS Ar-Ra'd: 28). Jika seorang mukmin ingin selalu menemukan kenikmatandan ketenteraman dzikrullah di relung hatinya, hendaklah ia merasakan adanya keagungan Allah tertancap di dalam hatinya dan merasuk dalam jiwanya.

Sementara itu, makna dzikrullisan (dzikir dengan hati) didasari sebuah hadits qudsi. "Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, "Aku menyertai hamba-Ku, bila ia berdzikir kepada-Ku, dan kedua bibirnya bergerak menyebut nama-Ku" (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).

Dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Abdullah bin Bisyir, seseorang berkata, "Ya Rasulullah, ajaran-ajaran Islam sudah sangat banyak bagiku, beritahukan saya akan sesuatu yang bisa saya pegang teguh." Rasulullah Saw. menjawab, "Hendaklah lisanmu selalu basah dengan dzikir kepada Allah."

Yang termasuk dzikir lisan adalah semua doa dan ma'tsurat yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Saw. dan dikenal di zaman generasi shahabat dan generasi salaf yang shalih. Termasuk dzikir juga semua permohonan kepada Allah dan semua istighfar yang tercantum dalam Al-Qur`an atau diriwayatkan dari Nabi SAW. (sh)


belajar dari pengalaman


Suasana kota Bandung pagi itu tampak cerah seiring dengan terbitnya matahari di ufuk timur. Amir, tampak bergegas meninggalkan kediamannya, ia berjalan agak cepat menuju tempat pemberhentian angkutan kota (angkot). Kemudian angkot itupun membawanya ke stasiun kereta api. Angkot pun kemudian berhenti tepat di serambi stasiun. Amir, lalu menuju loket penjualan tiket KA, sesampai di dalam balkon setasiun, harus antri terlebih dahulu untuk dapat karcis-nya.
Saat, menunggu giliran mendapatkan tiket. Amir, tampak tertegun dengan seseorang di samping nya, terlihat seorang bapak yang hidupnya sederhana. Hal ini, dapat dilihat dari cara berpakaian, maupun perlengkapan yang dibawa berupa sebuah tas yang biasa dipakai pelajar, juga sendal alas kakinya. Karena, penasaran Amir pun menyapa bapak itu, "Assalamu’alaikum pak, " Wa alaikumussalam, jawab nya sambil diiringi senyuman.

Kedua-nya pun terlihat saling bersilaturahmi, hingga karcis yang ditunggu didapatkan. Sambil berjalan menuju kereta yang akan dinaiki, bapak itu memperkenalkan dirinya bernama pak Wiryono biasa dipanggil pak "Wir". Pak Wir berencana pulang ke rumah nya di Solo Jateng.
Alhamdullilah tempat duduk Amir dan pak Wir berdekatan hingga tanpa sengaja pak Wir memulai percakapan dengan kisah hidupnya, ia bercerita bahwa di Bandung baru saja menjenguk putrinya yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung, pak Wir berharap putrinya itu bisa berhasil dalam masa belajar untuk masa depannya.

Dibalik begitu banyak godaan kehidupan mahasiswa/mahasiswi yang bersifat negatif kehidupan apabila tinggal dan hidup dirantau jauh dari orang tua, hal ini dapat terlihat di berbagai media baik elektronik misal : TV, internet maupun media massa; surat kabar, majalah, tabloid. Dimana penyelewengan kasus penyalahgunaan narkoba, life style yang cenderung hedonis, ataupun pergaulan bebas. Sehingga kepada putrinya pak Wir, menanamkan untuk dapat memilih lingkungan yang mengenal agama Islam secara baik, sehingga dapat dijaga pergaulan ataupun tingkah lakunya dalam keseharian. Alhamdullilah kini putrinya telah mengenakan jilbab, tutur pak "Wir" sambil diselingi senyum khasnya. Prestasi belajar putrinya pun diceritakan pak Wir, ternyata dari prestasi akademik sekolah yang patut dibanggakan maupun lingkungan belajar di rumah, hingga ketrampilan hidup telah ditanamkan sejak kecil oleh pak Wir kepada putrinya dengan hidup sederhana

Pak Wir pun menceritakan tentang aktifitas nya, ia bekerja di salah satu RS di Solo Jateng, bagian teknisi pembuatan kaki palsu, Subhanallah, ucap Amir dalam hati, berarti pak Wir telah membantu banyak orang yang terkena musibah. Banyak kisah-kisah hidup yang diceritakan pak Wir seperti seseorang yang terkena musibah kecelakaan hingga kaki nya harus diamputasi, maka disamping memberikan semangat hidup agar tetap optimis, juga solusi agar percaya diri dalam menyelesaikan berbagai masalah hidup. Pernah pula seseorang yang terpandang berobat ke pak Wir disebabkan salah satu kakinya harus diamputasi pula karena menderita sakit diabetes, hingga perlu kaki palsu. Kereta api pun terus melaju, seiring dengan lantunan kisah hidup pak Wir yang banyak menolong orang lain yang sedang ditimpa musibah.


belajar bersyukur


Seorang Ibu terlihat gusar, setelah melihat tumpukan piring kotor di dapurnya. Semua itu bekas makan siang beberapa orang tamu yang baru saja berkunjung. Bukan karena banyaknya cucian piring, tetapi masih terlihatnya potongan-potongan daging bersisa, belum lagi sisa nasi yang masih menumpuk di piringnya. Ah… padahal untuk menyediakan lauk pauk itu tentu si ibu mesti mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Semua itu demi menjamu tamunya.
Kalau saja para tamu itu hanya memakan daging dan mengambil nasi secukupnya saja, tentu tidak akan ada makanan bersisa di piring kotor. Dan anak-anaknya bisa ikut menikmati sebagian daging utuh lainnya. Melihat sisa potongan daging itu, si Ibu bingung, mau di buang ... sayang... mau di olah lagi… sudah kotor bercampur sisa makanan lain…. tapi Alhamdulillah tetangga sebelah punya kucing… mungkin ini rezeki si kucing.

***

“Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl:18).

Begitu banyak nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Nikmat iman, nikmat sehat, nikmat penghidupan (harta, ilmu, anak, waktu luang, ketentraman, dan lain-lain) serta nikmat-nikmat lain yang tak terkira. Namun dengan sekian banyak nikmat yang Allah berikan seringkali kita lupa dan menjadikan kita makhluk yang sedikit sekali bersyukur, bahkan tidak bersyukur, Na'udzubillahi min dzalik…

Seringkali kita baru menyadari suatu nikmat bila nikmat itu di ambil atau hilang dari siklus hidup kita. Ketika sakit, baru kita ingat semasa sehat, bila kita kekurangan baru kita ingat masa-masa hidup cukup.

Syukur diartikan dengan memberikan pujian kepada yang memberi kenikmatan dengan sesuatu yang telah diberikan kepada kita, berupa perbuatan ma’ruf dalam pengertian tunduk dan berserah diri pada-Nya.

Cobalah kita memikirkan setiap langkah yang kita lakukan. Bila makan tak berlebihan dan bersisa. Bayangkan, di tempat lain begitu banyak orang yang kesulitan dan bekerja keras demi untuk mencari sesuap nasi. Bahkan banyak saudara-saudara kita yang kurang beruntung, mencari makan dari tong-tong sampah. Lantas sedemikian teganyakah kita menyia-nyiakan rezeki makanan yang didapat dengan berbuat mubazir.
Ketika punya waktu luang malah dipergunakan untuk beraktivitas yang tidak bermanfaat bahkan cenderung merugikan orang lain. Kala tubuh sehat, malah lebih banyak dipakai dengan melangkahkan kaki ke tempat tak berguna. Tidak terbayangkah bila nikmat itu hilang dengan datangnya penyakit atau musibah lainnya. Ah... alangkah ruginya… karena semuanya menjadi percuma disebabkan tidak bersyukurnya kita atas nikmat. Bahkan karena sikap-sikap tadi yang didapat hanyalah dosa dan murka-Nya. Na'udzubillah….

Kita harus berusaha mengaktualisasikan rasa syukur kita dari hal-hal yang sederhana. Setiap aktifitas sekecil apapun usahakan untuk selalu sesuai aturan-Nya, selaku pencipta kita. Kerusakan yang sekarang timbul di sekeliling kita tidak lain karena sikap kufur nikmat sebagian dari kita. Bayangkan, negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi sebagian besar rakyatnya miskin.

Untuk itu, tidak ada salahya bila kita mulai dari diri dan keluarga, belajar bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Agar nikmat itu jangan sampai menjadi naqmah (balasan siksa), karena kufur akan nikmat-Nya. Mulailah untuk sering melihat kondisi orang-orang yang berada di bawah kita. Jika sudah, tentulah kita akan lebih banyak mengatakan “Alhamdulillah”. Seperti dalam hadits Rasulullah Saw, ”Perhatikanlah orang yang berada di bawah tingkatanmu (dalam urusan duniawi), dan jangalah kamu memandang kepada orang yang berada di atasmu. Itu lebih layak bagimu supaya kamu tidak menghina pemberian Allah kepadamu.” (HR.Muslim).

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat (yang telah Engkau berikan), dari siksa-Mu yang mendadak, dari menurunkannya kesehatan (yang engkau anugrahkan) dan dari setiap kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).


Biarkan Alam Mengajarkan Kita

Ada masanya dalam hidup ini, kita menyadari keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Keburukan dan kesalahan yang bisa jadi disebabkan karena ketidaktahuan, ketidaksengajaan atau mungkin juga secara sadar kita lakukan itu dengan harapan timbul kesenangan walaupun orang lain menderita akibat keburukan kita itu.

Adalah sebuah prestasi besar dalam hidup ini bila kita menyadari keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan, kemudian kita berniat memperbaikinya. Untuk memperbaikinya tidak ada jalan lain kecuali kita berani melakukan suatu perubahan dengan tingkat resistensi tertentu yang kita miliki. Karena perubahan tidak mesti memperbaiki sesuatu, tetapi untuk menjadi lebih baik kita mesti berubah.

Setiap manusia, hari ini, esok dan lusa tetap berada dalam sebuah proses perubahan menuju tangga-tangga kebaikan. Jika input yang kita miliki bagus, kemudian ditunjang dengan proses yang baik, maka kita boleh berharap akan memperoleh output yang baik pula. Pada dasarnya input yang kita miliki baik, karena Allah mengatakan setiap manusia dilahirkan secara fitrah. Kemudian orang tua dan lingkungannyalah yang memiliki otoritas memproses dia menjadi baik atau buruk.

Keinginan menjadi lebih baik, menjadi orang yang bermanfaat, menyenangkan, berprestasi, kokoh dengan iman adalah keinginan luhur dan murni yang dimiliki orang besar. Sedangkan orang kecil tidak pernah memikirkan manfaat untuk orang lain bahkan dirinya sendiri. Untuk mejadi lebih baik diperlukan sebuah usaha dan kerja keras. Tidak sedikit rintangan yang akan kita temui. Mereka yang memiliki visi yang jelas, semangat yang kuat, keinginan yang besar, dan cita-cita yang tinggilah yang akan memenangkan perubahan itu.

Alam adalah guru yang paling jujur mengajarkan banyak hal kepada kita. Seperti proses metamorfosis ulat menjadi seekor kupu-kupu. Bila ulat berhasil melalui proses itu dengan baik, maka ia akan menjadi seekor kupu-kupu yang cantik dan indah. Perjuangan melepaskan diri dari kepompong adalah proses yang sangat menyiksa bagi kupu-kupu. Melihat keadaan kupu-kupu yang kesusahan memisahkan diri dari kepompong menarik hati seseorang untuk membantu dengan memotong kepompong agar sang kupu-kupu dapat keluar dengan mudah. Tetapi akibatnya bantuan itu justru mematikan sang kupu-kupu karena membuat otot-otot sayap kupu-kupu tidak kuat untuk menahan beban tubuhnya. Akibatnya, ketika kupu-kupu itu keluar, ia kehilangan resistensi, kemudian diam dan akhirnya mati.
Apa makna yang bisa kita petik dari kisah alam itu? Untuk menjadi cantik dan indah, untuk menjadi lebih baik, kita memerlukan perubahan dalam hidup kita. Perubahan itu menghadapkan kita pada suatu tantangan yang besar. Semakin besar hambatan dan rintangan yang kita hadapi, maka akan semakin besar nilai yang akan kita raih. Daya tahan terhadap perubahan itu mempengaruhi tingkat keberhasilan kita.

Hadapilah tantangan itu dengan senyum dan keyakinan yang tinggi, optimalkan kemampuan yang kita miliki untuk memenangkannya. Jangan mengeluh bila kita terjatuh, jangan menjerit bila kita sakit. Jangan minta bantuan orang lain yang hanya akan memperparah keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan kita, tapi carilah orang yang benar-benar ikhlas membantu kita menuju tangga-tangga kebaikan. Jangan merasa kita tidak mampu memperbaiki setiap keburukan dan kesalahan yang pernah kita lakukaan, kita pasti mamapu. Jangan lihat ke belakang, tapi tataplah ke depan, karena masa lalu tidak menjanjikan perubahan, tetapi masa depan menyediakan kita banyak pilihan keberhasilan.

Terakhir, bingkailah usaha kita dengan figura doa dan kepasrahan yang tinggi pada Allah, karena sebagai manusia yang diselimuti kekurangan, kita hanya bisa berusaha. Allah jualah yang menentukan segala nasib kita.


(Yesi Elsandra, spesial untuk saudara yang berencana duet membuat buku, mudah-mudahan Allah merealisasikannya)

beri aku nasehat

Pagi ini aku menerima sebuah pesan dalam telepon genggamku dari seorang sahabat, “Saudaraku, beri nasihat untukku hari ini …” Aku sempat tertegun membacanya, sambil menghela nafas kata-kata itu seperti menembus relung terdalam bathinku yang sedang berteriak keras, bahwa sejujurnya disaat ini akulah yang seharusnya lebih banyak mengirimkan pesan semacam itu kepada semua sahabat, saudaraku dimana saja.

Sungguh aneh rasanya jika ada orang yang enggan menerima nasihat, dan lebih aneh lagi jika ternyata ada orang yang gemar berkata-kata tanpa banyak menggunakan telinganya untuk mendengarkan orang lain. Dilihat dari struktur indera yang kita miliki, seharusnya setiap manusia sadar bahwa keberadaan dua telinga yang ditempatkan Allah di kanan dan kiri manusia agar dapat menangkap setiap pesan dan masukan lebih banyak. Bukan sebaliknya, menutup telinga rapat-rapat sementara membuka mulut dengan lebar sambil mengeluarkan banyak kata. Fitrah dan kodratnya demikian.

Allah ciptakan mulut dengan dua katup bibir yang bisa bergerak menutup dan membuka agar manusia bisa mengerti kapan waktunya diam dan kapan waktunya bicara. Dua bibir itu pula yang seharusnya mengontrol gerak lidah yang letaknya didalam rongga mulut. Sudah jelas, jika bibir tidak terbuka maka lidah pun tidak akan bergerak sehingga tak ada kata-kata yang keluar. Sedangkan Dia ciptakan sepasang telinga dengan cuping yang lebar tanpa kemampuan bergerak menutup dan selamanya terbuka. Tentu saja, karena Allah menginginkan kita terus menerus memasang telinga ini untuk mendengar, filterisasinya hanya ada di otak manusia yang menyeleksi apakah setiap pesan yang masuk akan diteruskan ke hati, mata da indera lainnya atau tidak.

Paul Madaule, Direktur The Listening Centre di Toronto dalam bukunya Earobics, mengatakan bahwa otak bekerja lebih cepat daripada lidah, dimana otak menerima masukan lebih banyak dari mendengar dan melihat (dua telinga dan dua mata). Ini menyadarkan kita, bahwa kecil kemungkinan orang belajar dari kata-katanya sendiri. Lagi pula biasanya lidah akan bekerja jika otak sudah menerima input dari indera yang lain. Tentu saja, jika ada orang yang berbicara tanpa bekal masukan dari otak (sebelumnya dari telinga dan mata), kita fahami bahwa apa yang keluar darinya tidak lebih dari sekedar bualan belaka, nyaris tanpa makna.
Di halaman lain buku tersebut, Paul malah menegaskan bahwa dengan mengefektifkan pendengaran, seseorang bisa mendapatkan energi baru, arah dan fokus untuk membantunya menemukan motivasi kuat dalam langkah-langkah selanjutnya. Sekali lagi kita mendapatkan pelajaran, bahwa jika mau disadari pada saat kita berbicara yang kita harapkan adalah orang lain memusatkan perhatiannya sehingga menemukan energi baru dari kata-kata yang kita keluarkan. Lalu kenapa tidak kita yang melakukan proses mendengar itu?

Oleh karenanya, kepada sahabat yang pagi ini mengirimkan SMS untuk meminta nasihat kepadaku, terus terang aku meminta, berlakulah adil kepada saudaramu ini. Bahwa sebenarnya saat ini aku yang jauh lebih memerlukan masukan, agar aku mendapatkan suntikan energi, arah dan motivasi yang lebih segar. Bukankah demikian perintah yang berbunyi dalam Surah Al Ashr, bahwa orang beriman hendaknya saling menasihati. Artinya, jika anda sudah sering mendapatkan nasihat dari saudara anda selama ini, adillah kepadanya dengan memberikan nasihat kepadanya. Tentu saja, ini bukan sekedar latihan bahwa kelak di akhirat mulut ini akan terkunci.

bayangkan Saat Maut Menjemput

Sesosok tubuh berselimut kain putih terbujur kaku. Disekelilingnya terlihat sanak saudara saling berangkulan, dan sesekali terdengar sesegukkan diiringi tetesan air mata kepiluan, keheningan dan kesedihan yang teramat dalam. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari beberapa orang yang hadir menambah kepiluan mereka yang ditinggalkan. Hari ini, satu lagi saudara kita menghadap Rabb-nya, tidak peduli ia siap atau tidak. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun.

Saudaraku, setiap yang hidup akan merasakan mati. Hal itu termaktub dengan tegas dan lugas dalam kitab-Nya. Maka, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menyambut maut yang kedatangannya tidak diketahui namun pasti itu. Saat seorang saudara kita mendapatkan gilirannya untuk menghadap Sang Khaliq, saat kita melihat tubuhnya membujur kaku, saat ia terbungkus kain putih bersih, saat tubuh tanpa nyawa itu diusung untuk dibawa ketempat peradilan utama atas setiap amalnya, dan saat kita bersama-sama menanamkan jasadnya ke dalam tanah merah serta menimbunkan tanah dan bebatuan diatas tubuhnya, sadarkah kita bahwa giliran kita akan tiba, bahwa waktu kita semakin dekat.

Saudaraku, pernahkah membayangkan betapa dahsyatnya maut menjemput, kita harus meregang nyawa saat Izrail pesuruh Allah menarik nyawa manusia perlahan-lahan untuk memisahkan dari jasadnya. Ketahuilah, Rasulullah manusia kecintaan Allah dan para malaikat-pun menjerit keras merasakan pedihnya sakaratul maut. Dan saat lepas ruh dari jasad, mata kita yang terbuka lebar dan menatap keatas, mengisyaratkan ketidakrelaan kita meninggalkan keindahan dunia atau mungkin isyarat ketakutan yang teramat sangat akan ganjaran yang akan diterimanya di akhirat.

Saudaraku, bayangkan jika saudara yang baru saja kita saksikan prosesi pemakamannya itu adalah diri kita sendiri, bayangkan juga jika yang terbujur kaku terbungkus kain putih itu adalah diri kita yang saat ini tengah menikmati indahnya dunia, kita begitu rapuh, tidak berdaya dan takkan bisa berbuat apa-apa yang dapat menolong kita dari peradilan Allah, kita hanya diam dan membisu dan membiarkan seluruh tubuh kita bersaksi didepan Allah dan para malaikat-Nya atas waktu dan kesempatan yang diberikan, dan kita hanya bisa menunggu keputusan yang akan diberikan Allah.

Saudaraku, setiap yang hidup akan merasakan mati. Hal itu termaktub dengan tegas dan lugas dalam kitab-Nya. Maka, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menyambut maut yang kedatangannya tidak diketahui namun pasti itu. Saat seorang saudara kita mendapatkan gilirannya untuk menghadap Sang Khaliq, saat kita melihat tubuhnya membujur kaku, saat ia terbungkus kain putih bersih, saat tubuh tanpa nyawa itu diusung untuk dibawa ketempat peradilan utama atas setiap amalnya, dan saat kita bersama-sama menanamkan jasadnya ke dalam tanah merah serta menimbunkan tanah dan bebatuan diatas tubuhnya, sadarkah kita bahwa giliran kita akan tiba, bahwa waktu kita semakin dekat.

Saudaraku, pernahkah membayangkan betapa dahsyatnya maut menjemput, kita harus meregang nyawa saat Izrail pesuruh Allah menarik nyawa manusia perlahan-lahan untuk memisahkan dari jasadnya. Ketahuilah, Rasulullah manusia kecintaan Allah dan para malaikat-pun menjerit keras merasakan pedihnya sakaratul maut. Dan saat lepas ruh dari jasad, mata kita yang terbuka lebar dan menatap keatas, mengisyaratkan ketidakrelaan kita meninggalkan keindahan dunia atau mungkin isyarat ketakutan yang teramat sangat akan ganjaran yang akan diterimanya di akhirat.

Saudaraku, bayangkan jika saudara yang baru saja kita saksikan prosesi pemakamannya itu adalah diri kita sendiri, bayangkan juga jika yang terbujur kaku terbungkus kain putih itu adalah diri kita yang saat ini tengah menikmati indahnya dunia, kita begitu rapuh, tidak berdaya dan takkan bisa berbuat apa-apa yang dapat menolong kita dari peradilan Allah, kita hanya diam dan membisu dan membiarkan seluruh tubuh kita bersaksi didepan Allah dan para malaikat-Nya atas waktu dan kesempatan yang diberikan, dan kita hanya bisa menunggu keputusan yang akan diberikan Allah.

Saudaraku, saat itu kita harus rela menerima keputusan dan menjalankan balasan atas segala perbuatan. Tentu tidak ada tawar-menawar, negosiasi, permohonan maaf, belas kasihan, bahkan air mata pun tidak berlaku dan tidak membuat Allah membatalkan keputusan-Nya. Karena kesempatan untuk semua itu sudah diberikan saat kita hidup didunia, hanya saja kita tidak pernah mengambil dan memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada untuk tunduk, takut, menangis berharap akan ampunan-Nya. Tidak saudaraku, semua itu sudah lewat

Saudaraku, saat tubuh kita terusung diatas kepala para sanak dan kerabat yang menghantarkan kita ke tanah peradilan, tahukah kita bahwa saat itu kita berada dipaling atas dari semua yang hadir dan berjalan, tubuh dan wajah kita menghadap kelangit, itu semata untuk memberitahukan bahwa kita semakin dekat untuk memenui Allah. Tentu kita harus berterima kasih, karena masih ada orang-orang yang mau mengangkat tubuh kita dan mau bersusah-susah menghantarkan, menanam bahkan membiayai prosesi pemakaman kita. Bayangkan jika kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan su'ul khotimah, sehingga semua orang memalingkan mukanya dari muka penuh kotor dan nista ini. Saat itu, tentu tak satupun dari orang-orang yang masih hidup menangisi kepergian kita bahkan mereka bersyukur. Na'udzubillaahi min dzaalik

Saudaraku, kita tentu juga mesti bersyukur saat Allah mengizinkan tanah-tanah merah yang juga makhluk Allah itu menerima jasad kita. Padahal jika tanah-tanah itu berkehendak -atas seizin Allah- ia akan menolak jasad kita karena kesombongan kita berjalan dimuka bumi. Jika ia mau, ia tentu berkata, "Wahai manusia sombong, ketahuilah bahwa tanah ini disediakan hanya untuk orang-orang yang tunduk". Ia juga bisa mengadukan keberatannya kepada Tuhannya untuk tidak mau menerima jasad manusia-manusia yang dengan sewenang-wenang dan serakah menikmati hasil bumi. Tanah-tanah itu juga tentu bisa berteriak, "Enyahlah kau wahai jasad penuh dosa, tanah ini begitu suci dan hanya disediakan untuk orang-orang yang beriman" Tapi, atas kehendak Allah jualah mereka tidak melakukan itu semua. Namun, tentu saat itu sudah terlambat bagi kita untuk menyadari kesalahan, dan kekhilafan.

Oleh karena itu saudaraku, saat sekarang Allah masih memberikan waktu dan kesempatan, saat sekarang kita tengah menunggu giliran untuk menghadap-Nya, ingatlah selalu bahwa setiap yang hidup pasti merasakan mati. Saat kita mengantar setiap saudara yang mati, jangan tergesa-gesa untuk kembali ke rumah, tataplah sejenak sekeliling kita, disana terhampar luas bakal tempat kita kelak, ya, tanah-tanah merah itu sedang menunggu jasad kita. Tapi, sudahkah semua bekal kita kantongi dalam tas bekal kita yang saat ini masih terlihat kosong itu? (Bayu Gautama)



Rabu, 13 Juni 2012

Bila Rumah Tangga Cinta Dunia

”Dan tiadalah kehidupan di dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesunguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui” Al-Ankabut ayat 64

Seakan telah menjadi bagian yang sangat standar dari skenario kehidupan ini, bahwa hampir sepanjang rentang usia dunia hingga saat ini, betapa banyak orang yang selama hidupnya begitu disibukkan oleh kerja keras, peras keringat banting tulang dalm mencari penghidupan, persis seperti ketakutan tidak kebagian makan. Apa yang telah diperolehnya dikumpul-kumpulkan dan ditimbun dengan seksama demi agar anak-anaknya terjamin masa depannya.

Ada juga orang yang dalam hidupnya teramat merindukan penghargaan dan penghormatan, sehingga hari-harinya begitu disibukan dengan memperindah rumah, mematut-matut diri, membeli aneka asesori, dan sebagainya, yang semua itu notabene dilakukan semata-mata ingin dihargai orang.

Inilah fenomena kehidupan yang menunjukan betapa manusia dalam kehidupannya akan selalu berpeluang dekat dengan hawa nafsu yan merugikan. Oleh sebab itu, bagi siapa pun yang berniat mengayuh bahtera rumah tangga, hendaknya jangan membayangkan rumah tangga akan beroleh kebahagiaan dan ketenangan bila hanya dipenuhi dengan hal-hal duniawi belaka. Karena, segala asesoris duniawi diberikan oleh ALLAH kepada orang yang terlaknat sekalipun.

Sekiranya tujuan sebuah rumah tangga hanya duniawi belaka, maka batapa para penghuninya akan merasakan letih lahir batin karena energinya akan lebih banyak terkuras oleh segala bentuk pemikiran tentang taktik dan siasat, serta nafsu menggebu untuk mengejar-ngejarnya terus menerus siang malam. Padahal, apa yang didapatkannya tak lebih dari apa yang telah ditetapkan ALLAH untuknya. Walhasil, hari-harinya akan terjauhkan dari ketenteraman batin dan keindahan hidup yang hakiki karena tak ubahnya seorang budak. Ya, budak dunia !

ALLAH ‘Azza wa jalla memang telah berfirman untuk siapa pun yang menyikapi dunia dengan cara apa pun : cara hak maupun cara bathil. “Hai dunia, titah-Nya, “ladeni orang yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya kepada-Ku. Akan tetapi sebaliknya, perbudak orang yang hidupnya hanya menghamba kepadamu” !

Rumah tangga yang hanya ingin dipuji karena asesoris duniawi yang dimilikinya, yang sibuk hanya menilai kebahagiaan dan kemuliaan datang dari perkara duniawi, adalah rumah tangga yang pasti akan diperbudak olehnya.

Rumah tangga yang tujuannya hanya ALLAH, ketika mendapatkan karunia duniawi, akan bersimpuh penuh rasa syukur kehadiratnya. Sama sekali tidak akan pernah kecewa dengan seberapa pun yang ALLAH berikan kepada-Nya. Demikian pun manakala ALLAH mengamininya kembali dari tangannya, sekali-kali tidak akan pernah kecewa karena yakin bahwa semua ini hanyalah titipannya belaka.

Pendek kata adanya duniawi di sisinya tidak membuatnya sombong tiadanya pun tiada pernah membuatnya menderita dan sengsara, apalagi jadi merasa rendah diri karenanya. Lebih-lebih lagi dalam hal ikhtiar dalam mendapatkan karunia duniawi tersebut. Baginya yang penting bukan perkara dapat atau tidak dapat, melainkan bagaimana agar dalam rangka menyongsong hati tetap terpelihara, sehingga ALLAH tetap ridha kepadanya. Jumlah yang didapat tidaklah menjadi masalah, namun kejujuran dalam menyongsongnya inilah yang senantiasa diperhatikan sungguh-sungguh. Karena, nilainya bukanlah dari karunia duniawi yang diperolehnya, melainkan dari sikap terhadapnya.

Oleh karena itu, rumah tangga yang tujuannya ALLAH Azza wa Jalla sama sekali tidak akan silau dan terpedaya oleh ada atau tidak adanya segala perkara duniawi ini. Karena, yang penting baginya,ketika aneka asesoris duniawi itu tergenggam di tangan, tetap membuat ALLAH suka. Sebaliknya, ketika semua itu tidak tersandang, ALLAH tetap ridha. Demikian pun gerak ikhtiarnya akan membuahkan cinta darinya.

Merekalah para penghuni rumah tanggga yang memahami hakikat kehidupan dunia ini. Dunia, bagaimana pun hanyalah senda gurau dan permainan belaka, sehingga yang mereka cari sesungguhnya bukan lagi dunianya itu sendiri, melainkan Dzat yang Maha memiliki dunia. Bila orang-orang pencinta dunia bekerja sekeras-kerasanya untuk mencari uang, maka mereka bekerja demi mencari dzat yang Maha membagikan uang kalau orang lain sibuk
mengejar prestasi demi ingin dihargai dan dipuji sesama manusia, maka mereka pun akan sibuk mengejar prestasi demi mendapatkan penghargaan dan pujian dari Dia yang Maha menggerakan siapapun yang menghargai dan memuji

Perbedaan itu, jadinya begitu jelas dan tegas bagaikan siang dan malam. Bagi rumah tangga yang tujuannya yang hanya asesoris duniawi pastilah aneka kesibukannya itu semata-mata sebatas ingin mendapatkan ingin mendapatkan yang satu itu saja sedangkan bagi rumah tangga yang hanya ALLAH yang menjadi tujuan dan tumpuan harapannnya, maka otomatis yang dicarinya pun langsung tembus kepada Dzat Maha pemilik dan penguasa segala-galanya.

Pastikan rumah tangga kita tidak menjadi pencinta dunia. Karena, betapa banyak rumah tangga yang bergelimang harta, tetapi tidak pernah berbahagia. Betapa tak sedikit rumah tangga yang tinggi pangkat, gelar dan jabatannya, tetapi tidak pernah menemukan kesejukan hati. Memang, kebahagian yang hakiki itu hanyalah bagi orang-orang yang disukai dan dicintai oleh-Nya.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, periasam dan bermegah-megahan diantara kamu, serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning, kemudian menjadi hancur dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari ALLAH serta keridoannya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Q.S.Al-Hadid ayat 20]. Wallahu ‘alam
 

Bila Orang Lain Berbuat Salah

Orang yang pasti tidak nyaman dalam keluarga, orang yang pasti tidak tentram dalam bertetangga, orang yang pasti tidak nikmat dalam bekerja adalah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria, penuh kedengkian, kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.
Salah satu yang harus dilakukan agar seseorang terampil bening hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab, istri kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat salah, tetangga kita akan
berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah, atasan di kantor kita akan berbuat salah karena memang mereka bukan malaikat. Namun sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya kesalahannya, yang jadi masalah adalah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.

Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, tekniknya adalah tanya pada diri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi,
bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!

Ah, Sahabat. Seharusnya ketika ada orang lain berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita lakukan adalah dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin kualitas
pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.

Oleh karena itu, andaikata ada orang melakukan kesalahan, maka sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang berbuat salah ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah ? Kenapa ada orang yang berbuat salah dan dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari desa yang dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja, dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi, toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang percuma, mengapa ? Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di desanya tidak ada aturan penghematan air, di desanya juga tidak ada kewajiban membayar biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di desanya air masih begitu melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, dia tahu tidak bahwa ini sebuah kesalahan. Lalu, kalau dia belum tahu kesalahannya, maka kita harus memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki, dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, seperti halnya, bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai perilaku orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah ada pembantu yang
umurnya baru 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu panjang pula yang kita lalui.


Sebuah pengalaman, dulu ketika pulang sehabis diopname beberapa hari di rumah sakit karena diuji dengan sakit. Saat tiba di rumah, ada kabar tidak enak, yaitu omzet toko milik pesantren menurun drastis! Meledaklah kemarahan, "Kenapa ini santri bekerja kok enggak sungguh-sungguh ? Lihat akibatnya, kita semua jadi rugi! Pimpinan sakit harusnya berjuang mati-matian!".

Tapi alhamdulillah, istri mengingatkan, "Sekarang ini Aa umur 32 tahun, santri yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain melakukan seperti apa yang mampu kita lakukan saat ini, sementara dia ilmunya, kemampuannya, dan juga pengalamannya masih terbatas?! Mungkin dia sudah melakukan yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita belum mampu untuk jaga toko".

Subhanallah, pertolongan ALLAH datang dari mana saja. Oleh karena itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah dia ini tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh dia belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya, "De', ini salah, harusnya begini".

Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat salah dari tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya. Selalu kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.

Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya, karena ada orang yang tahi itu suatu masalah, tapi dia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya? Maka, posisi kita adalah membantu orang yang berbuat salah mengetahui jalan keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih sederhana, ketika masih berupa kost-kostan mahasiswa, muncul suata masalah di kamar paling pojok yang dihuni seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun, "Wah, ini massalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi".
Dia tahu ini masalah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus bantu, tapi bantuan kita yang paling bagus adalah bukan menyelesaikan masalah, tapi membantu dia supaya bisa menyelesaikan masalahnya. Sebab, bantuan itu ada yang langsung menyelesaikan masalah, namun kelemahan bantuan ini, yaitu ketika kita membantu orang dan kita menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus, ia akan punya ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita akan membunuh kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Bantuan yang terbaik adalah memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.

Dan tahap yang ketiga adalah membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan, karena apa?

Karena anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan kita, kenapa kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu, apa yang berharga pada diri kita ? Padahal, justru kalau kita melihat orang lain salah, maka posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.

Nah, Sahabat. Selalulah yang kita lakukan adalah berusaha membantu agar orang yang berbuat salah mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah agar ia tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya.

Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu dengan mengingatkan dia tentang pentingnnya shalat, membantu mengajarinya tata cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya dia tetap
bersemangat untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat pemabuk, justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana cara menghentikan aktivitas mabuk. Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci kepada
siapapun.

Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan kita pun sebenarnya gudang kesalahan. QS. ALI 'IMRAN :26 Katakanlah:"Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
sumber :  bunga rampai



Berprestasi Dengan Motivasi

Salah satu kunci agar kita bisa sukses hidup di dunia adalah motivasi. Makin besar motivasi kita untuk memperbaiki diri dan maju, kemungkinan sukses pun akan kian besar.
Motivasi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat harapannya terhadap sesuatu. Karena itu, ada tiga hal yang berkaitan erat denga prestasi, yaitu :
1. prestasi itu sendiri,
2. motivasi, dan
3. harapan.
Prestasi bisa diraih karena adanya motivasi dan motivasi akan tumbuh jika ada harapan.

Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.
Ketika ditanya, misalnya, "Mengapa Anda tidak kuliah?"
Jawaban yang sering muncul adalah tidak punya uang, atau karena orang tua tidak sanggup membiayai, minder, dan sebagainya. Padahal, jika seseorang mau berbuat, semua itu bisa disiasati. Bisa dengan cara berwirausaha, atau mendapatkan beasiswa.

Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"
Jawaban yang sering terlontar terlihat fatalis: takut gagal, tidak punya modal, banyak saingan, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika kita tidak pernah maju. Bagaimana mau maju, motivasi untuk maju saja tidak ada?

Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.

Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.
Ia juga akan menyadari bahwa semua terjadi karena izin Allah. Ia sadar bahwa keinginannya belum tentu sesuai menurut Allah. Tugasnya hanya meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar, perkara hasil ada di tangan Allah sepenuhnya. Inilah hakikat motivasi menuju prestasi yang hakiki.

Nasyid

Saya pernah membaca satu tulisan tentang sebuah diskusi. Tulisan ini sangat menarik perhatian saya. Saya ingin, kalianpun tertarik dengan diskusi ini.

Diskusi ini berangkat dari satu pertanyaan: kenapa pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyyah “kurang begitu populis” dan kenapa fikrah-fikrah bathilah (yang tidak benar) justru lebih populis? Padahal, kalau kita cermati (khususnya oleh kalangan terpelajar), banyak sekali pemikiran dan produk-produk ijtihad Ibnu Taimiyyah yang sangat brilian, bahkan banyak pula yang diadopsi oleh para ulama’ dan kiai (dalam kenyataannya, meskipun mereka sangat menentang dan anti pati begitu mendengar nama Ibnu Taimiyyah).

Salah satu jawaban yang menarik perhatian saya secara kuat adalah jawaban yang mengatakan: “Karena Ibnu Taimiyyah tidak didukung oleh banyak penyair, dan hampir tidak ada syi’ir-syi’ir dukungan terhadapnya yang disenandungkan (di-nasyid-kan)!!!

Nasyid adalah senandung, ia mirip lagu atau bahkan ia adalah lagu. Karena ia sebuah lagu, ia mudah dihafal, enteng pula dinyanyikan. Ia bisa dilantunkan saat kita berjalan, ia bisa dikumandangkan saat ia rebahan, bisa pula sambil naik kendaraan, bisa pula sambil menimang anak, bisa pul sambil ini, sambil itu dan sambil-sambil lainnya, namanya juga nasyid. Singkatnya, nasyid mudah sekali populis.

Karenanya, bila kita mampu menggubag suatu atau beberapa -apalagi banyak nasyid- yang berisi AL HAQQ, maka mudah sekali AL HAQQ itu populis.

Ada satu hal lagi -barangkali- yang menyebabkan nasyid lebih cepat populis. Masyarakat kita (paling tidak di Jawa), senang sekali mengadakan hajatan; menikahkan anak, mengkhitankannya, walimah aqiqah, peringatan ini, peringatan itu dan lain sebagainya.

Untuk acara hajatan seperti itu, tidak bisa kita paksakan kepada mereka, harus diam, tanpa bunyi-bunyian, apalagi di era leketronik seperti ini, terlebih lagi di era digital dan teknologi MP3 yang gegap gempita ini. Tidak bisa pula kita paksakan harus memutar kaset tilawah secara terus menerus. Masyarakat juga merasa bahwa untuk acara-acara peringatan-peringatan yang bernuansa Islam, tidak pantas pula diputarkan lagu-lagu dangdut, pop, apalagi jazz dan semacamnya. Jadilah nasyid itu suatu alternatif yang -bagi mereka- jalan keluar yang sangat passs

Dari gambaran di atas, saya menjadi berpikir ulang, kenapa para ulama’ terdahulu banyak menggubah nazham (semacam sya’ir) untuk mengemas ilmu-ilmu yang termasuk kategori berat, seperti: ilmu nahwu, sharaf, balaghah, musthalah hadits dan semacamnya, sehingga kita melihat sebagian daftar nazham berikut ini: Pada ilmu nahwu ada: muhatul i’rab, al ‘imrithi, al fiyah Ibnu Malik dan lain sebagainya. Dalam bidang ilmu hadits ada nazham alfiyah Al “Iraqi dan alfiyah As-Suyuthi. Bahkan ada pula ilmu fiqih yang di-nazham-kan, yang dikenal dengan nama matan Zubad.

Salah satu sisi rahasianya barangkali, agar ilmu-ilmu itu mudah dihafal oleh anak-anak, saat mereka masih memiliki kemampuan photographic memory (kemampuan merekam seperti photo).

Ya laita ddu’aata yahfazhuuna hazhihin-Nuzhum (aduh, betapa indahnya, jika para da’i menghafal nazham-nazham ini)!!!

Bahkan ada pula ilmu-ilmu syar’iyyah yang digubah menjadi suatu nazhami dalam bahasa daerah, Jawa misalnya. Ada nazham fiqih, nazham tajwid, dan nazham-nazham lainnya dalam bahasa daerah, sehingga, dengan mudah anak-anak, dan masyarakat pada umumnya memahami kandungan ilmu-ilmu syar’i tersebut.

Banyak pula nazham yang digubah untuk mendukung partai-partai tertentu, dan nazham-nazham itu disosialisasikan dalam kampanye-kampanye menjelang pemilihan umum, semuanya dengan tujuan agar para simpatisan bisa men-senandung-kannya kapan saja, dimana saja dan dalam keadaan bagaimana saja. Dengan demikian, dengan sadar atau tidak dengan sadar, apa yang disenandungkan itu masuk ke dalam hatinya, menguasai dirinya dan mengarahkan tangannya untuk memilih dan mencoblos tanda gambar partai pemilik senandung itu.

Bila permasalahan nasyid ini kita tarik ke belakang, kepada sejarah da’wah dan sirah nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau, ternyata kita juga ketemukan bahwa beliau saw mempunyai beberapa (kalau tidak bisa dikatakan banyak) penyair.

Ada Hassan bin Tsabit -Radhiyallahu ‘anhu-, yang Rasulullah saw bersabda: qul ya Hassan wa Jibriilu ma’aka (jawab dan katakan wahai Hassan -maksudnya bin Tsabit- dan Malaikat Jibril bersamamu).

Ada Abdullah bin Rawahah -Radhiyallahu ‘anhu-, yang syi’ir jihadnya sangat menggugah para mujahidin, yang diantaranya:

Wahai jiwa dan nafsuku, saya bersumpah dengan nama Allah swt, kamu harus turun ke medan laga.
Turun dengan suka rela atau harus aku paksa.
Dan masih ada lagi beberapa sahabat dan shahabiyah lainnya.

Beliau saw sendiri mensemangati kaum muslimin dengan melantunkan nasyid, saat beliau bersama kaum muslimin menggali parit pertahanan Madinah dari serbuan pasukan multinasional pada waktu itu.

Tentunya, nasyid yang saya maksudkan ini bukan nasyid-nasyid “cengeng” sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang, bukan nasyid-nasyid yang memperbincangkan wanita, pornografi, kemunkaran dan semacamnya, dan tentu pula jangan sampai nasyid-nasyid itu mengandung hal-hal yang menyelisihi syari’at Islam, baik dalam sisi muatannya ataupun dari sisi cara membawakannya.

Banyak sekali nilai-nilai Islam yang mesti kita sosialisasikan, nilai-nilai aqidah (ma’rifatullah, tauhidullah, keagungan Allah swt, iman kepada para malaikat, kepada kitab, kepada rasul, kepada hari akhir dan kepada qadha’ qadar), nilai-nilai ukhuwwah, ibadah, akhlaq, mahasinul Islam (sisi kebaikan Islam) dan lain sebagainya.

Diantara nilai-nilai itu ada yang sudah ada nasyidnya, meskipun juga tidak menutup kemungkinan munculnya nasyid-nasyid baru dengan nilai sama. Dan diantara nilai-nilai itu banyak pula yang belum ada nasyidnya, karenanya, bila saudara dan saudariku se-iman memiliki kemampuan menggubah nasyid, atau nazham, gubahlah -wa Jibriilu ma’aka insya Allah swt- agar nilai-nilai Islam mudah diserap oleh masyarakat kita, terutama dari kalangan anak-anak.

Dan sebagai penutup, simaklah penggalan dari nasyid ini:
Nasyid kami adalah penyemangat kehidupan Masyid kami adalah penerang para da’i
Ia adalah cahaya, harapan, senyuman dan sinar terang Nasyid kami adalah api bagi para thaghut



Mutaba'ah, Bukan Ghibah

Memang susah, betapa tidak, maksud kita sih mutaba'ah, eh … jangan-jangan malah jadi ghibah, dan kalau tidak hati-hati malah bisa lebih berat lagi, yaitu: namimah.

Betul, dalam tataran praktis operasional, jarak antara ghibah dan mutaba'ah serta namimah memang agak sulit dibedakan. Untuk mencari titik terang dari ketiganya, kita harus definisikan terlebih dahulu tiga istilah di atas. Rasulullah saw telah mendefinisikan ghibah dalam sebuah hadits berikut:

Dari Abu Hurairah –Radhiyallahu 'anhu- bahwasanya Rasulullah saw bersabda: 'Tahukah kalian apa ghibah itu?'. Mereka (para sahabat) menjawab: 'Allah swt daRasul-Nya lebih mengetahui'. Rasulullah saw bersabda: 'Engkau menyebutnyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai'. Ada yang bertanya: 'Bagaimana kalau pada saudaraku itu terdapat sesuatu yang saya katakan (faktual)? Rasulullah saw menjawab: 'Jika pada saudaramu itu ada sesuatu yang engkau katakan (faktual), maka engkau telah meng-ghibah-nya, jika tidak ada (tidak faktual), maka engkau telah membuat kedustaan tentang-nya'. (HR Muslim).

Di sini Rasulullah saw mengaitkan antara ghibah dengan buhtan, ghibah adalah untuk hal-hal yang faktual, nyata, dan kenyataannya memang begitu. Sedangkan buhtan adalah untuk hal-hal yang tidak faktual, tidak ada kenyataannya. Berarti, saat kita membicarakan orang lain, ada satu lagi titik kerawanan syar'i, yaitu kemungkinan terjerumus ke dalam buhtan (kedustaan).

Sedangkan namimah adalah: Mentransfer pembicaraan satu manusia kepada lainnya dengan maksud merusak. (An-Nawawi dalam Al Adzkar).

Simpul dari definisi adalah pada maksud merusak, sebab, bila mentransfer itu dilakukan dengan maksud mendamaikan, atau untuk mengacaukan barisan musuh Islam, maka hal itu dibenarkan.

Imam Ghazali mengatakan:
Hakikat Namimah adalah menyebar luaskan rahasia dan menyingkap tirai sesuatu yang terbukanya sesuatu itu tidak disukai. Sedangkan Mutaba'ah adalah mengikuti perkembangan sesuatu. Ia biasa juga diartikan evaluasi. Biasa juga diistilahkan taqwim, yaitu upaya meluruskan sesuatu yang bengkok, tidak benar dan menyimpang

Dalam suatu organisasi, mutaba'ah adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, alias sebuah kemestian, suatu keniscayaan. Baik mutaba'ah program, mutabaah keuangan ataupun mutaba'ah orang (SDM).

Pada titik mutaba'ah ke tiga inilah terjadi kerawanan syar'i, jangan-jangan dalam mutaba'ah itu kita terjerumus ke dalam ghibah, atau bahkan namimah atau bahkan buhtan (Na'udzu billah min dzalik).

Kita semua berada dalam satu wadah organisasi, Partai Keadilan namanya. Tentunya, kita tidak ingin agenda mutaba'ah kita berubah menjadi ajang ghibah, atau namimah atau bahkan buhtan (Na'udzu billah min dzalik). Agar kita tidak terjerumus ke dalam tiga kerawanan ini, berikut ini barangkali bisa menjadi kiat kita untuk mebentengi diri kita dari tiga bahaya tersebut:

1. Dalam mutaba'ah itu, kita harus senantiasa dalam suasana taqwa dan isytisy'ar muraqabatillah (merasakan pengawasan Allah swt). Alangkah lebih baiknya, bila pemimpin majlis, setiap kali mau melakukan mutaba'ah orang, selalu mengingatkan urgensi taqwa dan muraqabatillah ini, serta membacakan ulang definisi ghibah, namimah, dan buhtan.

2. Dalam mutaba'ah orang itu, kita hanya membicarakan hal-hal yang faktual saja, yang memang ada pada kenyataan, yang kita memiliki bukti-bukti kuat atas hal itu. Bukan berdasar pada zhan (dugaan), atau prasangka, bukan pula atas dasar : 'katanya dan katanya'. Tetapi kita memiliki bukti kuat yang bisa dipertanggung jawabkan: melihat, mendnegar langsung, ada data autentik dan semacamnya.

3. Dalam mutaba'ah itu, kita tidak sekedar berbicara untuk berbicara, akan tetapi kita bicarakan orang itu dengan maksud meng-ishlah (memperbaiki), men-taqwim (meluruskan yang bengkok dan menyimpang) serta mencari kemaslahatan 'ammah yang lebih besar, atau karena ada pertimbangan-pertimbangan yang dibenarkan oleh syari'at Islam.

4. Setelah kita selesai melakukan mutaba'ah itu, hendaknya masing-masing kita senantiasa mengingat hadits Rasulullah saw yang menyatakan:

Majlis (forum) itu menjadi baik karena amanah. (HR Ibnu Majah) Maksudnya, majlis atau forum adalah sesuatu yang rawan. Ia akan selamat dari kerawanan itu, dan menjadi majlis yang baik, bila semua yang hadir di situ memiliki sifat amanah, baik saat berada di dalam majlis itu, ataupun setelah keluar dari majlis itu. Segala pembicaraan yang ada dalam majlis itu harus dipandang dan disikapi sebagai suatu amanah, yang tidak boleh disampaikan kepada siapa saja, kecuali yang memiliki ahliyah (kapabilitas) untuk itu.

5. Kita harus selalu sadar dan ingat serta menghayati makna yang terkandung dibalik do'a penutup majlis yang kita ucapkan itu, dan selanjutnya berusaha untuk komitmen dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Semoga Allah swt selalu menjadikan majlis-majlis kita sebagai majalisul khair wan-naf'i wal barokati (majlis kebaikan, memberi manfa'at dan keberkahan). Amiiin.



Menuntut Tanggung Jawab Pemimpin

“Tiap-tiap diri bertangung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” ( QS Al-Mudatstsi : 38)

Dalam sejarah ulama salaf diriwayatkan, khalifah Umar bin Abdil Aziz ra dalam Shalat tahajjudnya membaca surat ash-Shaff : 22-24 “ (Kepada para malaikat diperintahkan). ‘Kumpulkanlah orang yang zalim berserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah : maka tunjukkanlah kepada mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya akan ditanya (dimintai pertanggugjawaban)”

Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali dalam rangka mentadabburi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman. Dalam riwayat lain. Umar bin Khathab ra mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti, “ seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya umar akan diminta pertanggung jawabannya, seraya akan ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?” Itulah keteladanan yang dilukiskan para salafus shalih tentang beratnya tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah kelak.

Pada perinsipnya, Tanggung jawab dalam islam berpijak atas dasar perbuatan individu semata, “Dan tidak lah seorang membuat dosa melainkan kemudhratannya kembali kepada dirinya sendiri dan sorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,”(QS Al- An’am:164).

Dalam surat Al-Mudatstsir ayat 38 dinyatakan, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” Perbuatan individu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seroang pada waktu, tempat dan kondisi-tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh tanggung-jawab seorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung, bahkan sekalipun pelakunya telah tiada?

Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah dalam berbuat dosa sekecil biji sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil saat dilakukan. Bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.

Allah SWT berfirman, “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan,” (QS Yasin: 12). Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya, tapi melebar sampai semua akibat dan berbagai ekses dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang shalih, semuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapan pun. Jadi orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya, ditambah dengan pahala atau dosa 0rang-orang lain yang meniru perbuatannya.

Marilah kita merenung sejenak seraya bertanya, apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut ?

Seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih bisa memiliki kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggung jawab atas semua perbuatannya. Al-Qur’an mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. “Pada hari ketika muka mereka di bolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata : “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan mereka berkata : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar,” (QS Al-Ahzab : 66-67).

Allah membantah mereka dengan tegas, “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.”(QS Az-Zukhruf : 39).

Pemimpin zalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa lahiriahnya. Untuk itu, yang dipimpin pun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya meski disana ada perintah dan larangan pimpinan.

Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindah penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk islam dipaksa Murtad seperti Bilal Bin Rabbah, Keluarga Yasir, dan lainnya. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran (QS an-Nahl: 106 dan an-Nisa : 97-99)

Tanggung jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, makin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku diri, keluarga, saudara-sudara, masyarakat dan rakyatnya.” Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”(Al hadist)”

Tanggung jawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, Kepala Desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seorang mu’min yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan memberbaiki diri, keluarga dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus shalih sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Bila tidak hati-hati, seorang pemimpin akan memikul banyak dosa. Setiap orang yang dizalimi olehnya akan memikulkan dosa kepadanya.

Pemimpin dalam level apa pun akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, di samping seluruh apa yang terjadi pada rakyatnya. Baik dan buruknya perilaku dan keadaan rakyat tergantung pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan, rakyat juga dibebani pertanggunjawaban itu dan menanggung dosanya. Wallhu a’lam.#



Senin, 11 Juni 2012

Kasih sayang sesama muslim

Rasulullah saw diutus oleh Allah SWT ke muka bumi ini sebagai rahmat atau kasih sayang Allah kepada seluruh alam. Beliau adalah contoh manusia sempurna yang layak menjadi teladan bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan kesuksesan akhirat, di samping kesuksesan dunia.

Tentu saja kehadiran beliau sebagai utusan Allah SWT kepada umat manusia adalah tidak sekadar sebagai pribadi Muhammad saw, melainkan sebagai rasul pembawa risalah Islam yang penerapannya adalah pasti mewujudkan rahmat bagi seluruh umat manusia, bahkan seluruh alam.
Salah satu di antara syariat pembawa rahmat itu adalah ajaran tentang sifat rahmat atau kasih sayang itu sendiri yang merupakan bagian dari akhlak yang baik menurut syariat Islam.

Syariat memotivasi dan memerintahkan kita umat Islam untuk memiliki akhlak itu. Bahkan syariah Islam memberikan berbagai gambaran tentang rahmat atau kasih sayang itu dalam berbagai bentuk. Di antaranya adalah kita diminta untuk bersikap rendah hati kepada sesama orang beriman, sesama muslim. Apa pun kedudukan sosial ekonomi dan politiknya; apa pun suku bangsa, ras, dan bahasanya; seorang muslim harus kita hormati dan tidak kita hadapi dengan sikap arogan.

Sebab, pada hakikatnya seorang muslim yang satu dengan muslim yang lain adalah laksana satu tubuh. Mereka bagaikan kepala dengan kaki, bagaikan mulut dengan perut. Di dalam sahih Al-Bukhari diriwayatkan dari Nukman bin Basyir yang mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, ''Engkau lihat orang-orang Mukmin di dalam saling kasih sayang, hubungan yang hangat, dan merasakan, di antara mereka, seperti tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh, maka seluruh tubuh itu akan merasakan demam dan tidak bisa tidur.''

Wajarlah sesama muslim saling hormat dan saling merendah, bukan saling merendahkan dan menghinakan. Lebih dari itu, mereka saling menyayangi dan bergaul dengan penuh kehangatan dan kekompakan. Laksana satu tubuh. Bahkan sikap ramah ini juga ditunjukkan kepada non-Muslim yang menghargai integritas kaum muslimin dan mengakui kedaulatan syariat Islam, sekalipun mereka tidak mengimani Islam.

Dalam Sunan Al-Baihaqi diriwayatkan suatu hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash RA bahwa Rasulullah saw bersabda, ''Orang-orang yang bersifat pengasih akan dikasihi oleh Allah Ar-Rahman, kasihilah siapa saja di muka bumi niscaya kalian akan dikasihi para penghuni langit.''

Tentu saja, bagi orang-orang kafir yang memusuhi kaum muslim, tidak pada tempatnya kaum muslimin menyayangi mereka. Sebagaimana Allah SWT berfirman, ''Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.'' (QS Al-Fath: 29).

Oleh karena itu, marilah kita kembangkan kasih sayang ini sebagaimana tuntunan Yang Paling Penyayang di antara para penyayang. Siapa lagi yang menyayangi saudara kita sesama muslim kalau bukan kita sendiri yang muslim karena tidak mungkin orang kafir memberikan kasih sayangnya kepada kaum muslim tanpa ada udang di balik batu.


Bahaya Munafik

Ali RA mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Sungguh aku tidak mengkhawatirkan seorang mukmin ataupun seorang musyrik atas umatku. Seorang mukmin akan dipelihara Allah dengan imannya daripada perbuatan mengganggu mereka dan seorang musyrik akan Allah patahkan gangguannya dengan sebab kemusyrikannya dari mereka.

Tapi, aku sangat mengkhawatirkan seorang munafik yang pandai bersilat lidah, mengucapkan apa-apa yang kamu ketahui dan mengerjakan apa yang kamu ingkari ...'' (Nahjul Balaghah: 114).

Nabi dalam hadis tersebut mengingatkan kepada kita tentang bahaya orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang 'bermuka dua', lahirnya kelihatan baik, tetapi hatinya ternyata jahat. Secara lahir mereka baik, seakan-akan mereka teman kita, padahal mereka musuh kita. Mereka juga pandai bersilat lidah, perkataannya sangat menakjubkan dan meyakinkan, tetapi perbuatannya bertentangan dengan ucapan mereka sendiri.

Di depan kita mereka mengaku pembela kebenaran, penegak keadilan, pejuang hak asasi manusia, dan pendekar demokrasi. Tetapi, ternyata mereka adalah penghalang kebenaran, perusak keadilan, pelanggar hak asasi manusia, dan penghambat demokrasi.

Mereka juga mengaku pembela rakyat dan penolong kaum lemah, ternyata mereka adalah penipu (pengkhianat) rakyat dan zhalim terhadap kaum lemah. Bahkan, mereka dengan mudah berani bersumpah dengan nama Allah dan Alquran di atas kepalanya, tetapi tindakan mereka ternyata menipu Allah dan bertentangan dengan petunjuk-petunjuk Alquran.

''Orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf (baik) dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah. Maka, Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.'' (QS At-Taubah: 67).

Sebagai umat Islam, kita perlu selalu waspada terhadap tipu daya mereka. Jika tidak, tipu daya mereka dapat menghancurkan umat Islam itu sendiri. Khalifah Umar bin Khattab terbunuh karena ulah orang munafik. Demikian pula kerusuhan yang terjadi di masa Khalifah Usman bin Affan dan perang saudara yang terjadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Maka, tidak menutup kemungkinan kerusuhan, kekacauan, dan perseteruan yang terjadi selama ini juga karena ulah orang-orang munafik. Allah SWT melarang mereka diangkat menjadi teman kita atau pemimpin dan pembantu-pembantu kita (QS 4:144), karena mereka hanya akan merugikan kita. Dengan jalan inilah insya Allah kita tidak akan salah memilih pemimpin-pemimpin atau pembantu-pembantu munafik yang hanya akan merugikan kita.


Baju Kehinaan

Bertubi-tubi penghinaan dan penzaliman diterima umat Islam. Diganjalnya salah satu aspirasi paling minim, yakni tujuan pendidikan membentuk peserta didik menjadi beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas dan kreatif, serta pendidikan agama disampaikan guru seagama, adalah salah satu contoh. Pelecehan atas tekad pemberantasan pornografi, hingga tidak dihargainya Masjid Al-Aqsa sebagai tempat ibadah, serta hak hidup dan merdeka umat Islam Palestina, Irak, dan Chechnya, adalah cantoh yang lain.

Firman-Nya, ''Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada agama Allah dan perjanjian dengan manusia.'' (QS Ali Imran: 112). Ayat ini cukup menjelaskan bahwa kita seakan-akan memakai baju kehinaan, sehingga dalam urusan apa pun kepentingan umat selalu terganggu.

Umat tidak lagi teguh memegang agama Allah sebagai satu-satunya pandangan hidup, sumber hukum, dan nilai dalam kehidupan. Ajaran Islam dinodai sekularisme, sinkretisme, materialisme, dan lain-lain. Akibatnya, banyak yang minder dan merasa terhina bila diajak kembali kepada Islam karena telah menganggap hukum dan nilai peradaban Barat lebih unggul.

Bagaimana mungkin umat akan mulia bila pola pikir dan sikapnya selalu mengekor kepada peradaban Barat yang berbasis hawa nafsu dan godaan setan? Bagaimana tidak kalah dan terus terhina jika umat mengikuti kaum tanpa akal dan iman, padahal akal dan keimanan itulah yang membedakan insan dengan hewan dan setan?

Sementara itu, sistem pemerintahan dan para pejabat pemerintah yang melingkupi kehidupan umat juga jauh dari Islam. Bahkan tidak sedikit yang menentang Islam. Mereka menjauhi rakyatnya, bahkan mencurigai dan menzaliminya. Mereka juga kehilangan rasa cinta negerinya, padahal itu perintah Islam. Akibatnya, mereka tidak segan-segan menggadaikan wilayah, perusahaan negara, dan kekayaan alam negerinya, demi kepentingan pribadi. Maka kian terhinalah negara itu, sehingga menghadapi negara kecil, seperti Singapura pun tidak berwibawa lagi.

Dalam sistem ekonomi misalnya, kita wajib mengikuti semua petunjuk Rasulullah saw dan menjauhi segala larangannya (QS 59:7). Itulah syarat terbentuknya pemerataan ekonomi agar perekonomian negara kuat, mandiri, mempunyai tabungan dan konsumsi agregat yang besar, serta investasi dan produksi yang tidak membutuhkan utang berbunga.

Jadi, ketika tali Allah (hablum minallah) dan tali manusia (hablum minannas) tidak lagi dijalin dengan peradaban Islam, maka kehinaan demi kehinaan pasti datang menerpa.
Sumber : Republika Online


Minggu, 03 Juni 2012

Bebas Kanker dengan Tahajjud

Sholat tahajjud ternyata tak hanya membuat seseorang yang melakukannya mendapatkan tempat (maqam) terpuji di sisi Allah (Qs Al-Isra:79) tapi juga sangat penting bagi dunia kedokteran. Menurut hasil penelitian Mohammad Sholeh, dosen IAIN Surabaya, salah satu salat sunah itu bisa membebaskan seseorang dari serangan infeksi dan penyakit kanker. Tidak percaya? "Cobalah Anda rajin-rajin sholat tahjjud. Jika anda melakukannya secara rutin, benar,khusuk, dan ikhlas, niscaya anda terbebas dari infeksi dan kanker". Ucap Sholeh.

Ayah dua anak itu bukan 'tukang obat' jalanan. Dia melontarkan pernyataanya itu dalam desertasinya yang berjudul 'Pengaruh Sholat tahajjud terhadap peningkatan Perubahan Respons ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi" Dengan desertasi itu, Sholeh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, yang dipertahankannya Selasa pekan lalu.

Selama ini, menurut Sholeh, tahajjud dinilai hanya merupakan ibadah salat tambahan atau sholat sunah. Padahal jika dilakukan secara kontinu, tepat gerakannya, khusuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan respons ketahannan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfosit-nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi.

Sholat tahajjud yang dimaksudkan Sholeh bukan sekedar menggugurkan status sholat yang muakkadah (Sunah mendekati wajib). Ia menitikberatkan pada sisi rutinitas sholat, ketepatan gerakan, kekhusukan, dan keikhlasan.

Selama ini, kata dia, ulama melihat masalah ikhlas ini sebagai persoalan mental psikis. Namun sebetulnya soal ini dapat dibuktikan dengan tekhnologi kedokteran. Ikhlas yang selama ini dipandang sebagai misteri, dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol.

Parameternya, lanjut Sholeh, bisa diukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya anatara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari-atau setelah pukul 24:00- normalnya antara 69-345 nmol/liter. "Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, bisa diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan. Begitu sebaliknya. Ujarnya seraya menegaskan temuannya ini yang membantah paradigma lama yang menganggap ajaran agama (Islam) semata-mata dogma atau doktrin.


Sholeh mendasarkan temuannya itu melalui satu penelitian terhadap 41 responden sisa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa itu, hanya 23 yang sanggup bertahan menjalankan sholat tahajjud selama sebulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan sholat tahjjud selama dua bulan. Sholat dimulai pukul 02-00-3:30 sebanyak 11 rakaat, masing-masing dua rakaat empat kali salam plus tiga rakaat. Selanjutnya, hormon kortisol mereka diukur di tiga laboratorium di Surabaya (paramita, Prodia dan Klinika)

Hasilnya, ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin bertahajjud secara ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak melakukan tahajjud. Mereka yang rajin dan ikhlas bertahajud memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan individual untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi dengan stabil. "Jadi sholat tahajjud selain bernilai ibadah, juga sekaligus sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol kognisi. Dengan cara memperbaiki persepsi dan motivasi positif dan coping yang efectif, emosi yang positif dapat menghindarkan seseorang dari stress," katanya.

Nah, menurut Sholeh, orang stres itu biasnya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan sholat tahjjud yang dilakukan secara rutin dan disertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respons imun yang baik, yang kemungkinan besar akan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker. Dan, berdasarkan hitungan tekhnik medis menunjukan, sholat tahajjud yang dilakukan seperti itu membuat orang mempunyai ketahanan tubuh yang baik.


taken from mailist bdi-kps

Saat Maut Menjemput

Sesosok tubuh berselimut kain putih terbujur kaku. Disekelilingnya terlihat sanak saudara saling berangkulan, dan sesekali terdengar sesegukkan diiringi tetesan air mata kepiluan, keheningan dan kesedihan yang teramat dalam. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari beberapa orang yang hadir menambah kepiluan mereka yang ditinggalkan. Hari ini, satu lagi saudara kita menghadap Rabb-nya, tidak peduli ia siap atau tidak. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun.

Saudaraku, setiap yang hidup akan merasakan mati. Hal itu termaktub dengan tegas dan lugas dalam kitab-Nya. Maka, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menyambut maut yang kedatangannya tidak diketahui namun pasti itu. Saat seorang saudara kita mendapatkan gilirannya untuk menghadap Sang Khaliq, saat kita melihat tubuhnya membujur kaku, saat ia terbungkus kain putih bersih, saat tubuh tanpa nyawa itu diusung untuk dibawa ketempat peradilan utama atas setiap amalnya, dan saat kita bersama-sama menanamkan jasadnya ke dalam tanah merah serta menimbunkan tanah dan bebatuan diatas tubuhnya, sadarkah kita bahwa giliran kita akan tiba, bahwa waktu kita semakin dekat.

Saudaraku, pernahkah membayangkan betapa dahsyatnya maut menjemput, kita harus meregang nyawa saat Izrail pesuruh Allah menarik nyawa manusia perlahan-lahan untuk memisahkan dari jasadnya. Ketahuilah, Rasulullah manusia kecintaan Allah dan para malaikat-pun menjerit keras merasakan pedihnya sakaratul maut. Dan saat lepas ruh dari jasad, mata kita yang terbuka lebar dan menatap keatas, mengisyaratkan ketidakrelaan kita meninggalkan keindahan dunia atau mungkin isyarat ketakutan yang teramat sangat akan ganjaran yang akan diterimanya di akhirat.

Saudaraku, bayangkan jika saudara yang baru saja kita saksikan prosesi pemakamannya itu adalah diri kita sendiri, bayangkan juga jika yang terbujur kaku terbungkus kain putih itu adalah diri kita yang saat ini tengah menikmati indahnya dunia, kita begitu rapuh, tidak berdaya dan takkan bisa berbuat apa-apa yang dapat menolong kita dari peradilan Allah, kita hanya diam dan membisu dan membiarkan seluruh tubuh kita bersaksi didepan Allah dan para malaikat-Nya atas waktu dan kesempatan yang diberikan, dan kita hanya bisa menunggu keputusan yang akan diberikan Allah.

Saudaraku, saat itu kita harus rela menerima keputusan dan menjalankan balasan atas segala perbuatan. Tentu tidak ada tawar-menawar, negosiasi, permohonan maaf, belas kasihan, bahkan air mata pun tidak berlaku dan tidak membuat Allah membatalkan keputusan-Nya. Karena kesempatan untuk semua itu sudah diberikan saat kita hidup didunia, hanya saja kita tidak pernah mengambil dan memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada untuk tunduk, takut, menangis berharap akan ampunan-Nya. Tidak saudaraku, semua itu sudah lewat.

Saudaraku, saat tubuh kita terusung diatas kepala para sanak dan kerabat yang menghantarkan kita ke tanah peradilan, tahukah kita bahwa saat itu kita berada dipaling atas dari semua yang hadir dan berjalan, tubuh dan wajah kita menghadap kelangit, itu semata untuk memberitahukan bahwa kita semakin dekat untuk memenui Allah. Tentu kita harus berterima kasih, karena masih ada orang-orang yang mau mengangkat tubuh kita dan mau bersusah-susah menghantarkan, menanam bahkan membiayai prosesi pemakaman kita. Bayangkan jika kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan su'ul khotimah, sehingga semua orang memalingkan mukanya dari muka penuh kotor dan nista ini. Saat itu, tentu tak satupun dari orang-orang yang masih hidup menangisi kepergian kita bahkan mereka bersyukur. Na'udzubillaahi min dzaalik

Saudaraku, kita tentu juga mesti bersyukur saat Allah mengizinkan tanah-tanah merah yang juga makhluk Allah itu menerima jasad kita. Padahal jika tanah-tanah itu berkehendak -atas seizin Allah- ia akan menolak jasad kita karena kesombongan kita berjalan dimuka bumi. Jika ia mau, ia tentu berkata, "Wahai manusia sombong, ketahuilah bahwa tanah ini disediakan hanya untuk orang-orang yang tunduk". Ia juga bisa mengadukan keberatannya kepada Tuhannya untuk tidak mau menerima jasad manusia-manusia yang dengan sewenang-wenang dan serakah menikmati hasil bumi. Tanah-tanah itu juga tentu bisa berteriak, "Enyahlah kau wahai jasad penuh dosa, tanah ini begitu suci dan hanya disediakan untuk orang-orang yang beriman" Tapi, atas kehendak Allah jualah mereka tidak melakukan itu semua. Namun, tentu saat itu sudah terlambat bagi kita untuk menyadari kesalahan, dan kekhilafan.

Oleh karena itu saudaraku, saat sekarang Allah masih memberikan waktu dan kesempatan, saat sekarang kita tengah menunggu giliran untuk menghadap-Nya, ingatlah selalu bahwa setiap yang hidup pasti merasakan mati. Saat kita mengantar setiap saudara yang mati, jangan tergesa-gesa untuk kembali ke rumah, tataplah sejenak sekeliling kita, disana terhampar luas bakal tempat kita kelak, ya, tanah-tanah merah itu sedang menunggu jasad kita. Tapi, sudahkah semua bekal kita kantongi dalam tas bekal kita yang saat ini masih terlihat kosong itu? (Bayu Gautama)

Apa Arti Kekayaan?


Sebuah diskusi kecil di dalam ruang kelas, terdiri atas beberapa anak-anak muda dan masih murni belum terkotori oleh debu-debu ribawi. Sebuah pertanyaan terlontar, “Apa jadinya bila seluruh orang yang ada di dunia ini diberikan oleh Allah SWT satu kilogram emas perorang?

Mereka dengan penuh tanda tanya dan merasa aneh menjawab “Ngga bakalan ada yang mau kerja”, “ngga bakalan ada yang jadi tukang sapu”, “ngga bakalan ada yang jadi sopir” tetapi ada satu jawaban smart yaitu, harga emas akan menjadi turun dan emas tidak akan berharga lagi. "Smart", saya bilang.

Pertanyaan kedua, “Apa jadinya bila Allah menjadikan semua orang dimuka bumi menjadi S-3 semua?” Ada banyak jawaban, “semua orang jadi pinter”, “semua akan jadi professor”, yang pasti harga pendidikan tidak akan semahal ini, bahkan boleh jadi ilmu begitu murahnya sehingga orang tidak merasa terhormat bila menyandang gelar S-3 lagi, karena tukang sapu pun bergelar S-3.

Jadi apa yang kita cari? Apakah kekayaan yang begitu banyak, ataukah gelar yang terhormat? Mengapa Allah SWT tidak menciptakan semua orang dimuka bumi menjadi kaya dan mengapakah Allah SWT tidak menjadikan manusia bergelar S-3 semua. Mengapa ada yang perlu menjadi tukang tambal ban, penjaga sekolah, menjadi tukang sapu, menjadi sopir, menjadi tukang ojek. Mengapa Allah SWT tidak mengangkat mereka semua menjadi Presiden Indonesia? Atau menjadi Sekjen PBB? Atau menjadikan mereka semua menjadi Perdana Menteri atau Kanselir?

Mungkin ini pertanyaan yang rada tolol, tapi pernahkah kita berpikir tentang hal ini? Ada apa dibalik semua ini? Bukankah bagi Allah SWT Maha Segalanya dan mudah bagi Allah menciptakan manusia menjadi Presiden semua dan mudah bagi Allah untuk menciptakan manusia ini menjadi Perdana Mentri semua. Tapi sudah sunnatullah ternyata Allah menginginkan manusia mengambil manfaat dari semua ini. Bila tak ada lagi tukang tambal ban, dapatkah kita bayangkan kesulitan yang akan terjadi yang menimpa kita? Bila tidak ada tukang sampah maka kita akan kebauan sampai berkilo-kilo meter, bila tidak ada yang menjadi tukang sapu maka apa jadinya lantai di rumah, kantor dan masjid serta tempat ibadah lainnya?

Pemilu menjadikan semua rakyat Indonesia berkeinginan menjadi presiden RI dengan segala cara. Ada yang lewat konvensional, meskipun sudah bebas dari ancaman terdakwa tetapi ambisi masih ada. Ada pula yang menjual diri kepada masing-masing partai untuk mengangkat dirinya menjadi presiden meskipun bukan orang partai. Ada pula yang asik berkoar-koar menarik konstituen partainya agar terpilih menjadi presiden dengan berbagai macam cara.

Apakah yang diinginkan oleh Allah SWT sebenarnya? Hanya satu yang diinginkan oleh Allah SWT dan keinginan Allah SWT tidak diterjemahkan secara benar oleh umat manusia sejak dari nabi Adam sampai Muhammad SAW, yaitu menyembah Allah, sujud kepada Allah adalah lebih baik daripada menjadi seorang Presiden RI, sujud kepada Allah adalah lebih baik daripada menjadi seorang ketua DPR RI, sujud kepada Allah akan menyebabkan derajat orang menjadi tinggi, bukan sebaliknya. Apabila semua orang sujud kepada Allah, harga sujud bukan semakin rendah seperti harga emas, akan tetapi dengan sujud kepada Allah, Allah justru membukakan pintu barakah bagi seluruh penduduk yang sujud kepada-Nya, sujud menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya dan tidak akan mengalami devaluasi.

Maukah kita sujud tengah malam dan mendoakan agar pemimpin kita adalah orang muslim, tidak berdusta, tidak khianat, tidak ingkar janji, tidak korupsi, tidak berzina, sejauh mana sujud kita kepada Allah telah merubah bangsa ini?

Husnul Yanwar
husnul_ssi@yahoo.com