Awali Hidup Ini Dengan Membaca Basmallah
Semoga Amal Ibadah Kita Diterima Allah S.W.T .....Amien...

link

Rabu, 13 Juni 2012

Menuntut Tanggung Jawab Pemimpin

“Tiap-tiap diri bertangung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” ( QS Al-Mudatstsi : 38)

Dalam sejarah ulama salaf diriwayatkan, khalifah Umar bin Abdil Aziz ra dalam Shalat tahajjudnya membaca surat ash-Shaff : 22-24 “ (Kepada para malaikat diperintahkan). ‘Kumpulkanlah orang yang zalim berserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah : maka tunjukkanlah kepada mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya akan ditanya (dimintai pertanggugjawaban)”

Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali dalam rangka mentadabburi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman. Dalam riwayat lain. Umar bin Khathab ra mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti, “ seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya umar akan diminta pertanggung jawabannya, seraya akan ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?” Itulah keteladanan yang dilukiskan para salafus shalih tentang beratnya tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah kelak.

Pada perinsipnya, Tanggung jawab dalam islam berpijak atas dasar perbuatan individu semata, “Dan tidak lah seorang membuat dosa melainkan kemudhratannya kembali kepada dirinya sendiri dan sorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,”(QS Al- An’am:164).

Dalam surat Al-Mudatstsir ayat 38 dinyatakan, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” Perbuatan individu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seroang pada waktu, tempat dan kondisi-tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh tanggung-jawab seorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung, bahkan sekalipun pelakunya telah tiada?

Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah dalam berbuat dosa sekecil biji sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil saat dilakukan. Bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.

Allah SWT berfirman, “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan,” (QS Yasin: 12). Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya, tapi melebar sampai semua akibat dan berbagai ekses dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang shalih, semuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapan pun. Jadi orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya, ditambah dengan pahala atau dosa 0rang-orang lain yang meniru perbuatannya.

Marilah kita merenung sejenak seraya bertanya, apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut ?

Seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih bisa memiliki kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggung jawab atas semua perbuatannya. Al-Qur’an mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. “Pada hari ketika muka mereka di bolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata : “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan mereka berkata : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar,” (QS Al-Ahzab : 66-67).

Allah membantah mereka dengan tegas, “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.”(QS Az-Zukhruf : 39).

Pemimpin zalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa lahiriahnya. Untuk itu, yang dipimpin pun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya meski disana ada perintah dan larangan pimpinan.

Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindah penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk islam dipaksa Murtad seperti Bilal Bin Rabbah, Keluarga Yasir, dan lainnya. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran (QS an-Nahl: 106 dan an-Nisa : 97-99)

Tanggung jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, makin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku diri, keluarga, saudara-sudara, masyarakat dan rakyatnya.” Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”(Al hadist)”

Tanggung jawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, Kepala Desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seorang mu’min yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan memberbaiki diri, keluarga dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus shalih sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Bila tidak hati-hati, seorang pemimpin akan memikul banyak dosa. Setiap orang yang dizalimi olehnya akan memikulkan dosa kepadanya.

Pemimpin dalam level apa pun akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, di samping seluruh apa yang terjadi pada rakyatnya. Baik dan buruknya perilaku dan keadaan rakyat tergantung pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan, rakyat juga dibebani pertanggunjawaban itu dan menanggung dosanya. Wallhu a’lam.#



Tidak ada komentar:

Posting Komentar